Langkah kaki Sandi ringan sekali saat memasuki kedai itu. Dia berhenti sebentar untuk membaca tulisan di atas pintunya. Seperti nama kedai di kota besar, batinnya. Di tangan kanannya, ponsel menampilkan balasan pesan email dari Ela, orang yang mengajaknya bertemu. Mata sandi memindai pengunjung kedai. Dicarinya gadis dengan penampilan “anak orang paling kaya di Ledok”. Tak perlu, hidungnya bisa mengenalinya lebih baik. Parfum mahal seperti itu hanya dipakai kalangan atas. Gadis itu terlihat sedang membaca sebuah buku, ada gambar orang menari Topeng Lengger di sampul warna hitam. Sandi menuju konter untuk memesan, tapi gadis itu berdiri. Mata mereka bertemu. Ada satu getaran yang unik dari cara pandang mereka berdua.
“Laila, panggil saja Ela. Maaf aku hubungi mendadak.” katanya tenang, menyimpan gemuruh hebat dalam kepalanya.
Ada kekhawatiran yang ditahan dalam nada suaranya, gadis itu terlatih berbicara di depan orang tak dikenal, mungkin terbiasa tampil di depan orang banyak. Ela sama sekali tak punya logat orang Ledok, terlalu lama di Jakarta, batin Sandi.
“Sandi. Ah, tidak apa-apa. Saya sebenarnya ingin menemui Bos Tarjo secara langsung. Terimakasih sudah menghubungi, Ela.” kata Sandi agak gugup menyentuh tangannya yang dingin. Parfum Laila menghantam saraf di otaknya bertubi-tubi, seperti di-nina bobo.
Tatapan mata Laila membuatnya seperti diamati seekor elang. Melihatnya dari ujung rambut sampai ujung sepatunya. Sandi merasa miskin dalam sekejap. Sandi menoleh ke kiri-kanan, memastikan tidak ada orang yang akan menerkamnya dari belakang. Maklum, dia pernah diculik sebelumnya. Ela seakan tahu kekhawatiran Sandi lalu tersenyum simpul dan menawari Turkish Delight.
“Americano saja, pakai es sedikit.” katanya pada brewer yang sibuk membersihkan konter di depannya. Sandi melihat pesanan Ela yang baru berkurang setengah gelas. Lalu duduk di berhadapan, matanya kini bisa melihat jelas wajahnya yang mengingatkannya pada sosok karakter kartun Mulan. Sekilas di mata Sandi ada bayangan rembulan berlatar langit malam yang pekat, tanpa bintang. Ada aura aneh dari gadis itu, daya pikatnya gelap.
“Kak Sandi, kita satu kampus loh. Aku jurusan pariwisata, angkatan 2019. Duta kampus 2020. Mungkin pernah lihat fotoku?” Tanya Ela memancing ingatan Sandi. Ela sudah tahu Sandi pernah menjadi pemimpin redaksi di lembaga pers kampusnya.
“Oh, mungkin. Wajah Ela tidak asing. Sepertinya aku pernah lihat di media kampus. Tidak menyangka ketemu adik angkatan di kota ini. Mungkin ada yang bisa saya bantu Ela?” kata sandi bermain petak umpet, tak mau mengalah pada jebakan Ela dan senyumnya yang membius.
“Jadi begini kak. Ini soal serangan ke tambang dari Laskar bertopeng. Jelas itu kriminal kan? Apa tidak sebaiknya menunggu konfirmasi dari papahku dulu? Atau mungkin beritanya bisa di take down dulu sementara?” kata Ela sambil merapikan rambutnya yang sudah rapi. Mata sandi menyipit, bibirnya tersenyum. Lalu kepalanya didekatkan pada Ela.
“Memangnya Bos Tarjo terganggu dengan serangan itu? Bukannya tambangnya sudah legal? Yaaa. Mungkin, bisa kami take down beritanya. Tapi saya harus ketemu langsung dengan Bos Tarjo. Face to face.” kata Sandi mencoba tetap tenang. Kata-kata dari Kleo mengalir dari mulut Sandi. Mereka sudah melatih dialog itu 10 menit lalu.
“Oya, tenang saja. Nanti ada bantuan akomodasi dari kami. Mungkin kak Sandi mau menginap di hotel Merdeka? Kami punya satu kamar yang selalu kosong. Khusus untuk tamu-tamu papah. Kalau butuh kendaraan, kami sediakan sekaligus supirnya.” kata Ela enteng seperti menawari sepiring nasi goreng.
“Tidak Ela, terimakasih. Saya sudah ada tempat menginap dan uang transport dari kantor. Saya tinggalkan nomor ponsel saja. Sepertinya sudah mulai malam. Saya tunggu undangan Bos Tarjo.” Katanya mengakhiri pertemuan. Ela sudah menebak jawaban itu sejak pertama membaca tulisan Sandi.
“Eh, sebentar kak. Di tulisan kak Sandi menyebut sudah ketemu langsung dengan Sontoloyo. Memangnya mereka mau menyerang lagi? Jangan-jangan mereka hanya preman-preman yang jadi musuh papah sejak puluhan tahun lalu?” Kata Laila menelisik. Itulah tugas utamanya, menemukan pelaku penyerangan.
“Memangnya salah apa perusahaan tambang milik papah? Ada ratusan orang yang bekerja dan hidup dari sana. Apa tidak takut pada hukum? Itu perbuatan kriminal kan?” tanya Ela memberondongnya tanpa ampun. Ekspresi wajahnya masih tenang, bahkan semakin menarik ketika nada suaranya ditinggikan.
“Kalau soal itu, saya kurang tahu. Narasumber saya tetap menjaga identitasnya. Mereka hanya menyebut penyerangan itu ultimatum. Saya hanya ada di tengah, tidak membela siapapun, hanya menyampaikan pesan!” kata Sandi tenang.
“Menurut mereka, Bos Tarjo lah yang melanggar hukum, merusak lahan mereka dengan membuat lubang-lubang galian dan mematikan mata air yang mengaliri ladang dan kolam. Warga pernah dibantu mahasiswa mediasi dan demo di kantor Bupati. Tapi tidak dapat keadilan. Bagi mereka, Bos Tarjo adalah kriminalnya. Merebut lahan-lahan penting dan membunuh warga desa pelan-pelan.” jelasnya runtut.
Ela agak bergeming melihat Sandi yang tetap tenang. Ela melihatnya sebagai SJW, Social Justice Warrior yang memilih jalan sunyi, jalan sulit, melihat kehidupan hanya dari satu sudut pandang. Tapi anehnya, argumen Sandi mulai masuk akal baginya. Ela mulai sadar memilih kubu yang mendapatkan untung terbanyak. Raut mukanya menandakan kekalahan kecil dalam lomba debat mahasiswa itu. Diam-diam ada kesadaran baru muncul di otaknya. Ela meminum Turkish Delight dengan mata mengawasi Sandi.
“Baik, mungkin kak Sandi harus bertemu papah Langsung biar tidak salah paham. Tugasku cuma membantu menyelesaikan ini tanpa keributan. Aku minta nomor ponsel kak Sandi ya?” katanya singkat. Disambut sandi yang meminum sisa Americano di tangannya tanpa sedotan. Dari saku bajunya diambil kartu nama yang ditinggalkan di bawah gelas. Sandi berpamitan dengan senyum simpul, lalu berjalan membelakangi Ela yang masih mematung sambil membayangkan bagaimana reaksi papahnya. Berita itu pasti sudah sampai padanya, mungkin telah dibaca gubernur, menteri, atau parahnya presiden.
“Dasar orang idealis, kalian lama-lama membosankan,” kata Ela pada dirinya sendiri. Sisa turkish delight disesapnya pelan. Lalu diambilnya kartu nama yang sedikit basah karena embun dari gelas berisi es. Saat hendak membayar bill, Ela tak menyangka sudah dibayar Sandi. Jurnalis aneh, pikirnya. Ela mendadak melupakan Kleo yang ingin ditemuinya hari itu. Pikirannya terlalu penuh, dia putuskan pulang berjalan kaki.
***
Kleo harus memastikan Sandi siap dengan lawan bicaranya. Walid dan Liz memarkir sepeda motor di dekat gudang belakang, wilayah kekuasan Walid. Mereka rapat 5 menit, mempersiapkan apapun yang harus dilakukan Sandi. Liz hanya memperhatikan dalam diam. Matanya memindai gudang yang disulap menjadi tempat roasting, aroma kopinya membius. Di sampingnya ada bangunan mezanine lantai dua tempat tinggal Walid.
Foto Ela dari ponsel Kleo diperhatikan sekali lagi. Cantik, batin Sandi. Beberapa unggahan media sosialnya sudah dilihat Sandi saat di rumah Cipto. Wahyu juga memberinya banyak informasi, termasuk kunjungan terakhirnya di sanggar. Ringkasan tentang Laila adalah tipikal anak orang kaya yang pintar merawat diri dan angkuh. Dia cerdas dan tahu posisi dirinya, tidak bersenang-senang dengan gegabah. Dia tahu masa depannya sudah dipahat orang tuanya. Dia ingin lebih tinggi. Laila juga punya kepekaan sosial yang mendukung karirnya, plus pintar menjaga pertemanan dengan siapapun yang menurutnya menguntungkan.
“Kelemahan anak ini hanya satu, laki-laki yang tidak mau mengalah. Orang yang tidak mudah dibeli. Kalau perlu kamu bayar pesanannya sekalian. Jawab pertanyaan atau rayuan dia dengan pertanyaan lain. Pakai nada se-datar mungkin. Jangan lihat senyumnya lama-lama. Nanti kamu kena pelet!” kata Kleo pada Sandi seperti guru SD mengajarkan ABC.