BELANTARA 1 - Kelahiran Katalis

Erwin Abdillah
Chapter #15

Pencuri Senjata Rahasia

2001

Hendrik menjadi orang yang berbeda setelah pendakian itu. Dua hari telah berlalu sejak mereka kembali ke rumah Cipto. Nafsu makan dan tidurnya seperti hilang begitu saja. Telur dadar dan sayur lodeh yang dimasak Fatim bahkan belum disentuhnya sama sekali siang itu. Cipto sempat menawarinya untuk jajan ke kota, tapi ditolaknya dengan halus. Di malam hari, Cipto mendengar suara ballpoint menggores kertas dan langkahnya yang mondar-mandir di ruang tengah. Otak Hendrik seperti memaksanya bekerja non stop memikirkan sesuatu. Cipto khawatir penyakit lamanya kambuh, penyakit orang jenius yang dideritanya 10 tahun lalu. Hendrik seperti bergumam pada dirinya sendiri. 

“100 tahun, terlambat!” kata-katanya pelan seperti orang menggerutu setengah sadar.

“Hen, kalau mau cerita aku siap mendengarkan. Ini sudah dua hari sejak kamu tidak tidur seperti manusia normal. Kejadian di Puser Kambang kemarin masih mengusik pikiranmu?” Tanya Cipto yang menemaninya sambil menonton siaran berita di layar TV. Hanya suaranya yang jernih, gambarnya dipenuhi semut yang tak bisa anteng naik turun, kadang warnanya berubah jadi lebih terang.

“Tenang Cip, ini bukan seperti dulu. Aku OK. Aku mencoba menghitung sesuatu yang belum pernah aku pikirkan sebelumnya. Padahal bidang kerjaku sejak dulu sangat dekat dengan ini.” katanya pelan, seperti orang yang berbicara pada dirinya sendiri. 

Teh tawar di dekat mejanya baru diminum setengah. Hendrik terlihat menggambar garis-garis halus di atas peta yang dicetak untuk sebuah presentasi. Dia seakan-akan mencoret-coret peta itu dengan gambar baru. Cipto bahkan sempat berfikir untuk mencarikannya kertas baru.

“Ternyata selama ini kita salah menerjemahkan isi prasasti dan lokasi candi-candi di Ledok, Cip.” Ada kekuatan baru dalam suaranya. Hendrik selesai mencorat-coret peta lereng gunung itu dan menyodorkan beberapa lembar kertas hasil karyanya pada Cipto.

“Lihat garis putus-putus yang aku buat di atas peta itu. Yang warnanya merah. Itu semua saluran bawah tanah yang menghubungkan jalur air. Memanjang dari lereng gunung, bukit, hingga muncul ke atas tanah. Ada area resapan sampai area sungai. Itu semua berisi pasir dan celah bebatuan. Di atasnya tutupan hutan yang lebih hijau daripada wilayah lain, area itu bisa dilihat jelas sekali, seperti tulisan di buku yang dicetak tebal.” Katanya sambil menunjuk garis-garis yang dibuatnya.

“Lihat area yang aku lingkari. Tempat suci. Di setiap candi, ada aliran air di dekatnya. Ada yang dibuat kolam, ada yang berupa pancuran dari mata air, juga ada sungai,” kata Hendrik penuh semangat, seperti presentasi proyek di perusahaan. Mata Cipto mulai menangkap sesuatu yang dibicarakan Hendrik. Cipto hafal betul lokasi-lokasi itu.

“Kalau tidak salah, semua area di peta ini masuk ke pengembangan kawasan Geopark yang sedang kamu teliti kan?” tanya Cipto, sambil melihat lembar-lembar lain.

“Iya, betul. Sayangnya, pusat dari jalur air itu ternyata bukan di Rahyang. Selama ini kami salah perhitungan. Harusnya pusatnya ada di Yasondara. Kami selama ini fokus pada bebatuan, geothermal dan ketinggian. Tapi lupa soal jalur air ini. Padahal 1500 tahun lalu para brahmana sudah melihat ini saat membangun tempat suci.” katanya dengan wajah yang menyala-nyala di bawah lampu. Ballpoint merah masih terselip di antara jarinya.

“Candi-candi itu dibangun bukan hanya untuk pemujaan Cip. Mereka membuat stasiun-stasiun pengamatan. Mereka melindungi air. Dari orang-orang jahat, dari peperangan, dari apapun yang merusak. Tapi ketika ada bencana, para brahmana yang pertama jadi korban. Air di dekat mereka akan memberi sinyal. Kandungan air akan berubah, ketika ada aktifitas di perut bumi.” Hendrik menghentikan kata-katanya lalu mendadak lemas.

“Kita terlambat. 100 tahun tahun terlambat. Prosesnya sudah dimulai sebelum kita lahir. Tapi kita terlalu bodoh, menganggap sains kita maju. Kita salah mengartikan peringatan leluhur kita yang dipahat di bebatuan. Kita hanya melihat prasasti itu sebagai benda purbakala bernilai tinggi. Padahal itu semua catatan agar kita tidak mengulangi kesalahan mereka lagi.” kata Hendrik makin melantur. Cipto tersesat dalam penjelasan itu.

“Terlambat bagaimana Hen? Ini soal bencana apa?” katanya ingin tahu segera. Cipto menyodorkan teh pada lawan bicaranya. Berharap Hendrik lebih tenang.

“Seharusnya Ledok tidak dijadikan tempat tinggal, sampai seperti sekarang ini. Tanah ini daerah pertapa Cip, semua lereng gunungnya wilayah suci. Hari ini sudah ada 500.000 manusia di Ledok. Bayangkan 10-20 tahun lagi, bisa sampai sejuta!” kata Hendrik sambil memperlihatkan laju pertumbuhan penduduk dan cakupannya di peta. Hendrik menggambar perkiraan wilayah permukiman di masa depan.

“Lihat area permukiman di peta ini Cip, dulunya itu daerah kosong, ada hutan, resapan air, bahkan ada sungai yang diratakan. Kalau ada tambahan 500.000 warga lagi, mereka juga akan menanami sawah dengan rumah. Petani terpaksa membuka lahan sampai atas. Percuma ada rencana Geopark! Sudah terlalu banyak manusia tinggal berdesakan di kawasan lereng.” kata Hendrik menyimpulkan.

Di kepala Cipto, semua gambaran temannya itu berubah menjadi tayangan dengan gambar bergerak seperti dalam film. Ledok di masa depan akan sangat berbeda. Mereka akan berebut lahan, air, hingga akhirnya orang-orang menyesaki seluruh lereng gunung. Tambang batu dan pasir ada di mana-mana. Orang-orang membangun dengan cepat. Jalan semakin lebar. Rumah-rumah dibangun di atas bukit. Gambar di otaknya semakin cepat berganti.

“Hampir 30 tahun tinggal di Ledok, aku tak pernah membayangkan ini Hen. Dari mana kamu dapat pemikiran ini?” Tanya Cipto. 

Dia menyesal menemani Hendrik, karena akhirnya bayangan itu akan membuatnya tak bisa tidur. Hendrik seperti menahan sesuatu di mulutnya. Ada rahasia yang dijaganya sejak turun dari Kambang.

“Aku melihat bencana itu Cip, langsung dengan mataku sendiri. Dengan mata terbuka. Saat mengembalikan keris itu.” katanya.

***


Jakarta, 18 Mei 1998

Laki-laki itu masih terlihat gagah di usianya yang ke 76. Di desa-desa, dia hanya akan jadi kakek-kakek yang dipanggil mbah kakung. Saat pelantikannya menjadi Presiden, entah yang ke berapa kali, rambutnya sudah memutih. Tapi suaranya masih lantang, seperti tahun pertama dilantik pada tahun 1967. Senyumnya juga masih sama, tidak bisa diartikan siapapun. Senyum itu sama saja ketika meminta tolong diambilkan teh atau saat memerintahkan untuk menghabisi orang yang tidak disukainya. Senyum itu juga dicetak di lembaran uang kertas Rp50.000. Tapi di hari ke 67 menyandang gelar presiden, entah yang ke berapa kali, senyuman itu, suara lantang itu, bahkan postur gagah itu sirna begitu saja. 

Lihat selengkapnya