BELANTARA 1 - Kelahiran Katalis

Erwin Abdillah
Chapter #16

Pesta Porak Poranda

Gerimis sepanjang hari membekukan seluruh jalanan kota. Sandi memanfaatkan celah waktu pada Senin siang itu untuk melihat langsung kondisi tambang-tambang pasir di lereng Yasondara. Rasa penasarannya pada hasil kerja Laskar Suradilaga harus segera dibayarkan. Sepeda motor milik Walid sudah mulai dikuasainya setelah 4-5 kilometer tersendat. Motor itu membuat tangan kiri dan kaki kirinya pegal karena harus beradaptasi dengan tarikan kopling dan gigi yang tepat.

Jalan aspal rusak dengan lubang di sana-sini membuat sepeda itu kerap oleng. Beruntung, jalan menuju tambang tidak begitu padat, hanya dilewati anak-anak sekolah yang berjalan pulang. Mendekati gerbang desa, hidungnya menangkap bau pohon yang baru ditebang bercampur dengan air hujan menguar di udara. Sandi mengingat bau itu seperti aroma keringat kakeknya yang seorang petani. Jalan masuk ke tambang lengang, hanya ada jejak ban mobil dan motor yang menjadi cekungan dan mulai terisi air.

Tambang di dusun Gondokan itu belum disentuh siapapun sejak kejadian hari Sabtu lalu. Sandi masih melihat dua backhoe yang ditinggalkan mekanik yang mungkin urung memperbaikinya. Beberapa kabel terlihat sudah ditarik keluar dari kokpit. Jejak ban truk baru masih bisa dilihat sandi. Satu orang pekerja tambang terlihat sedang mengambil barang dari reruntuhan pos yang terbakar dan ditutup kain terpal warna biru. Truk yang terbakar juga masih dibiarkan di tempatnya. Orang itu mendekati Sandi pelan, dengan raut muka yang menandakan dia sudah bosan ditanya orang.

“Permisi pak, saya teman pak Kadus Puger Jero.” Kata sandi sambil mengangguk pelan pada orang yang masih berjalan mendekat itu.

Dia tak perlu memperkenalkan diri sebagai Jurnalis. Akan butuh waktu terlalu lama untuk menjelaskan ke orang itu tujuan kedatangannya.

“Tambang ini masih ditutup atau sudah mulai beroperasi lagi?” Tanya Sandi hati-hati. Orang itu lalu memberi isyarat untuk berhenti.

“Jangan dekat-dekat mas, bahaya! Masih tutup, bahaya kalau ada yang masuk. Saya cuma ambil alat-alat yang masih bisa diselamatkan. Tapi kata pak Lurah besok ada pekerja penggali manual datang, kemungkinan hari Rabu.” Katanya tanpa berusaha sopan atau berbasa-basi.

Bahkan tidak berusaha berteduh saat gerimis mulai kembali. Topi dan jaketnya sudah basah berjam-jam lalu. Orang itu meninggalkan Sandi tanpa pamit, terburu-buru menyelesaikan pekerjaannya.

Sandi tidak kaget dengan jawaban orang itu. Tarjo pasti tak mau rugi begitu saja menutup satu tambang hanya karena serangan seperti itu. Sisa waktunya siang itu digunakan untuk melihat lokasi tambang lain di sebelah timur dan selatan desa, berjarak 10 kilometer dari tambang itu. Semua lokasi tambang sudah dilihat sandi dari peta milik Hendrik. Peta yang sama yang dicuri Sarip, 20 tahun lalu.

***

Pertemuan Surat dan Liz pada Sabtu sore itu membuat banyak orang khawatir. Satu orang yang paling khawatir adalah Kleo. Rencana yang telah mereka susun berbulan-bulan lalu terancam kacau jika Surat tiba-tiba berubah. Berbeda dengan semua orang di dapur Cipto, Surat adalah satu-satunya manusia yang tidak masuk dalam perhitungan siapapun, baik Tarjo maupun Sarip. Dia lah Kuda Hitam di Laskar Suradilaga. Surat bagi banyak orang adalah pemuda kampung yang misterius, tapi tak mengundang rasa penasaran. Dia adalah sosok yang hanya akan diingat ketika ada kejadian supranatural terjadi. Seperti kesurupan, memimpin ruwatan, hingga dicari mereka yang butuh jasa pawang hujan. 

Kadang, Surat juga menerima pekerjaan mengusir ular dari rumah warga, selan tentunya diminta mengusir roh jahat. Beberapa orang percaya Surat bisa berbicara dengan ular dan hewan lainnya, bahkan hewan dari alam lain. Profil Surat sebagai pemuda desa yang dekat dengan dunia klenik membuatnya kebal dari hal-hal berbau politis. Jejak digitalnya nol, bahkan KTP saja dia tak punya. Hal itu membuat Kleo mantap menjadikannya orang terpenting dalam perlawanan Suradilaga. Wajah tanpa nama. Sama seperti saat pertama kali ditemukan Yamin di pinggir sungai Code. Juga sama seperti saat pertama kali dipertemukan dengan Kleo lima tahun lalu di rumah Cipto. Ketika semua orang sibuk berduka dan banjir air mata menguburkan Tara, hanya Kleo yang melihatnya dengan tatapan berbeda. Siang itu, Kleo sengaja menghilang dari pandangan Walid dan Liz untuk menemui Surat, sendirian. 

“Surat, kita bertemu hanya untuk memastikan kamu masih ingat dengan rencana besar kita. Rencana besar yang disusun Hendrik sejak 20 tahun lalu. Ini rencana dari generasi sebelum kita. Ingat, kamu bagian paling pentingnya!” Kata-kata Kleo meluncur tanpa jeda.

“Kami mungkin boleh gagal dan mati, tapi kamu tidak!” Kata-kata kleo semakin pelan, tapi semakin menusuk-nusuk sesuatu di dada Surat yang mencoba kabur dari situasi itu dengan memainkan slepen tembakaunya.

“Iya, Kle. Kalau yang kamu maksud kedatangan Liz ke sini, itu tidak mengubah apapun. Toh dia tidak mengenalku sama sekali. Tapi, aku khawatir dia tidak aman. Dia pasti tetap akan mencari Hendrik, setidaknya sampai dia puas dengan apa yang dia temukan nanti.” Surat melihat mata besar Kleo tanpa takut.

Seperti mencari sesuatu yang ingin dilihatnya sejak lama. Dua pasang mata itu kini terkunci, hanya berjarak satu-dua kedipan.

“Tapi memori tara, jiwanya, katamu dulu, pasti menyimpan sesuatu tentang Liz kan?” Telisik Kleo seperti tak mau menyerah.

Lebih terlihat seperti seseorang yang cemburu ketimbang khawatir. Mata Kleo terpejam. Seperti mengunci diri dari tatapan Surat.

“Ya, pasti, tapi tidak relevan lagi. Tara dan aku adalah dua orang yang berbeda, meskipun kami sama-sama bisa melihat wanita cantik. Tapi tipe kami berbeda. Aku suka wanita yang lebih tua. Yang matanya hitam.” Surat menahan senyum yang sedari awal disembunyikannya.

Lalu tamparan halus Kleo membuatnya tertawa. Mereka saling melihat beberapa saat lalu berpelukan lama. Bau badan Surat, aroma kopi yang gosong, dihirup Kleo hingga tandas.

“Aku nggak cemburu! Tidak mungkin ada wanita yang betah sama kamu Rat. Masa depanmu tidak jelas, apalagi masa lalumu. Kamu tinggal di bekas kandang kerbau dan profesimu tukang goreng kopi kan? Itu pun kalau kamu sedang malas jadi pawang hujan!” Kata-kata Kleo semakin menghibur Surat. Obrolan mereka seperti dua orang suami istri di ranjang yang hendak tidur.

“Kle, tapi ada baiknya nanti kamu cerita tentang aku pada Liz, dengan caramu sendiri. Maksudku tentang Tara. Tidak adil buat dia, seperti orang buta di keramaian siang bolong dan tak ada yang membantu.” Kata surat menempelkan telapak tangannya yang kasar di pipi Kleo.

Sorot mata hitam besar itu sedang menerawang pada kejadian lima tahun lalu. Sebelum mereka akhirnya menjadi sepasang kekasih seperti hari ini.

“Tenang, aku sudah minta tolong sama Walid. Mereka sedang sibuk dengan kotak tua milik kakek buyut Liz. Besok dia akan tahu semuanya.” Dua telapak tangan Kleo yang dingin sudah menempel di pipi Surat. 

Kleo, tanpa aba-aba mencium bibirnya seperti seorang kekasih yang hendak berpamitan dan pergi jauh. Mata Surat terpejam. Seluruh otot tubuhnya meregang, tersentak getaran halus seperti sengatan aliran listrik. Hujan di luar makin deras. Waktu seakan memberi mereka ruang untuk menghabiskan siang berdua saja hingga petang. Sepasang kekasih itu menandaskan dendam dari dua tubuh dan nafas mereka yang kedinginan.

Telinga Kleo seperti disumpal, tak mendengar dering ponsel yang menambilkan nama Liz berkali-kali di layar. Ponsel itu tak digubrisnya, hingga beberapa menit setelahnya muncul nama Sandi bersama pesan berisi foto. Surat melepaskan dekapannya, seperti mendapat firasat. Kleo menatap isi pesan itu lalu semua ingatan tentang pertemuan pertama mereka lima tahun lalu berhamburan. Otak Kleo menuntunnya kembali pada rencana besar mereka. 

***


2019

Cipto dan Gus Hanif memindahkan tubuh Surat yang tergeletak di sebelah Tara yang sudah tak bernyawa. Dua pemuda tampak itu seperti mayat, bedanya tubuh Tara dingin dan benar-benar mati, sedangkan Surat panas, seperti panci yang mendidih. Ketika orang-orang sibuk dengan pemakaman Tara, Fatim menunggui Surat yang tak juga siuman hingga malam hari. Tubuhnya masih panas dan mulutnya meracau bahasa yang tak dipahaminya. Menjelang tengah malam, tubuhnya kejang-kejang hebat hingga membuat Cipto khawatir dan memanggil SS. Mereka sempat berpikir membawanya ke Rumah Sakit, namun mereka khawatir dengan identitas Surat. Mereka menunggu nya sampai pagi, Fatim memberinya beberapa ramuan yang sebelumnya disiapkan untuk Tara. 

“Mas, ada Hendrik melayat. Dia tidak sendirian,” kata Fatim membangunkan suaminya yang tertidur di ruang tengah, di pagi buta.

Lihat selengkapnya