Hai, ini Kleo. Izinkan aku menjelaskan soal Hendrik. Karena akan butuh waktu lama untuk menunggu Hendrik kembali. Singkatnya, aku lah yang menemukan Hendrik ketika menghilang terakhir kali, entah untuk kali yang keberapa. Aku lah manusia terakhir yang menemuinya dan aku membawa pesan ini. Entah dengan kalian, tapi dunia kami berputar dalam porosnya. Energi, kata Hendrik, di awal pertemuan kami di tahun 2019. Sejak saat itu, aku mulai masuk dalam dunianya. Aku bahkan tak pernah tahu bahwa ‘kekuatan’ yang aku miliki selama ini hanyalah bentuk lain dari energi itu. Soal itu aku akan bicarakan lain kali. Aku dan kekuatan? Mungkin terlalu aneh untuk dunia yang terlalu modern dan Aku yang seperti “ini”
Hari itu aku aku harus melakukannya, demi Hendrik dan mungkin semua orang mengenal kami. Aku menyiapkan perbekalan hanya untuk sehari semalam, tanpa ada orang tahu. Aku mendaki gunung Kambang sendirian waktu itu. Tentunya lewat jalur yang lain, yang ditunjukkan Hendrik dan hanya empat orang lain yang tahu. Seperti yang diceritakan pak Cip, aku akan mendapat bantuan. Yang ternyata berasal dari seekor burung berparuh kuning gading. Seharusnya, untuk sampai di puncak, aku butuh setidaknya empat jam. Itu pun jika tanpa istirahat. Tapi aku merasa hanya berjalan selama paling lama satu jam. Aku sampai pada tempat yang dihindari para pendaki dan penjaga pos gunung, Puser Kambang.
Tempat itu dipercaya punya kekuatan yang bisa membuat siapapun hilang akal, ada yang pernah tersesat berhari-hari di sana. Tempat itu lah yang akan dituju Hendrik. Pak Cip dan pak Kadus sudah bercerita tentang kejadian tahun 2001, ketika mereka mengalaminya sendiri. Kejadian yang membuat Hendrik menjadi orang yang berbeda. Di mataku, Hendrik berbeda dari yang dikenal orang-orang sebagai profesor, sejatinya dia adalah seorang pertapa yang terjebak di zaman modern. Dia lah yang menyelamatkanku dari lubang hitam di masa lalu. Anehnya, tempat yang aku masuki di Puser Kambang juga mirip dengan lubang hitam. Cahaya sepertinya dilarang memasuki wilayah ini, bahkan pohon tidak tumbuh dengan wajar. Di sekitarku bebatuan nampak lebih hitam dan suara hewan seperti dibungkam. Ada keheningan ganjil yang meliputi bentang alam yang menyerupai gua vertikal ini. Keheningan ini membuatku enggan beranjak, seperti aku kenali di masa yang lain.
Burung itu menuntunku hingga ke puncak bagian utara. Lalu dia terbang ke bawah. Aku tidak merasa ada apapun di bawah sana. Gua vertikal itu seperti muncul begitu saja, tak terlihat dari kejauhan. Burung itu lenyap dari pandanganku. Ada yang percaya bahwa orang yang mencari gua ini dengan sengaja tak akan menemukannya, meskipun berputar-putar di puncak gunung itu hingga 100 kali. Tempat yang tak akan kau temukan ketika kau cari, kata pak Kadus. Dia juga menyuruhku berhati-hati ketika mencari jalan masuk. Jika tergelincir, maka aku bisa saja terjatuh puluhan meter ke lubang yang mungkin di dalamnya ada kawah dengan lava pijar. Tapi suara yang aku dengar hanya gemericik aliran air yang semakin deras, seperti sungai. Meski aku tak bisa melihat air. Kulit di tanganku bisa merasakan hawa dingin yang makin menusuk, memaksa seluruh rambut di tubuhku berdiri. Suara aliran air makin terdengar. Aku makin khawatir dengan udara yang menipis.
Suara itu terpantul-pantul di dinding gua yang lebih mirip Silo bagiku. Aku memilih jalan menurun yang paling aman, di antara celah bebatuan yang membelah gua itu seperti jembatan buatan. Tak ada bau aneh seperti belerang. Aku hanya merasakan udara di sekitar berbeda, seperti dikelilingi kabut tebal, meskipun hawa di dalam gua tak begitu dingin. Tubuhku terasa lebih ringan, langkahku enteng sekali. Meskipun aku khawatir ada gas berbahaya yang tak bisa kucium baunya dengan hidung. Sekitar 20 menit menuruni gua, akhirnya aku bisa merasakan air membasahi kakiku hingga sedikit di bawah lutut. Sungai bawah tanah, atau mungkin mata air, pikirku. Cahaya senter hanya bisa menembus kurang dari lima meter di gua itu. Aku terpaksa mengandalkan instingku untuk mencari jalan. Yang kutakutkan hanya satu, jika tempat itu tiba-tiba banjir, maka aku tak tahu harus lari ke mana. Lalu aku dengar suara itu lamat-lamat, seperti suara gema dari pengeras suara.
“Kegelapan hanya selimut, masuklah,” kata suara itu.