Saat malam semakin larut, Nata dan Randi terus menyusuri lorong-lorong gelap kota, mencari petunjuk tentang keberadaan Bestari dan Dewa. Langkah mereka penuh dengan hati-hati, setiap suara dan gerakan menciptakan ketegangan dalam udara. Mereka tahu bahwa mereka berada dalam bahaya, tetapi tekad untuk menemukan sahabat-sahabat mereka tidak pernah padam.
Tiba-tiba, tanpa peringatan, suara tembakan memecah keheningan malam. Nata mendongak dan mendapati Randi terjatuh di depan matanya. Matanya membesar dalam ketakutan dan kengerian.
"Randi!" Nata berteriak dengan histeris.
Dia berlari menuju Randi yang terbaring di tanah, hatinya berdegup kencang dan tangannya gemetar. Randi terlihat pucat, tubuhnya tertelungkup dengan darah mengalir dari lukanya.
"Randi, kau harus tetap sadar! Tolong aku!" Ucap Nata dengan panik.
Dia mencoba menekan luka Randi untuk menghentikan pendarahan, namun tangannya gemetar dan hatinya terasa hancur. Dia melihat sekeliling, mencari tanda-tanda siapa yang melakukan tembakan itu, tetapi semuanya gelap dan kosong.
"N-Nata..."Ucap Randi dengan suara pelan.
"Jangan bicara, Randi. Aku akan membawamu ke rumah sakit."
Nata dengan susah payah mencoba mengangkat Randi dan membawanya menjauh dari tempat itu. Setiap langkah terasa seperti beban yang tak tertahankan, namun dia terus berusaha untuk membawa Randi ke tempat yang aman.
Setelah beberapa usaha yang sulit, Nata akhirnya berhasil membawa Randi ke rumah sakit terdekat. Dia duduk di lorong rumah sakit, jantungnya masih berdegup kencang dan pikirannya penuh dengan kebingungan. Bagaimana ini bisa terjadi? Siapa yang melakukan tembakan itu? Apa yang seharusnya dia lakukan sekarang?
Nata merenung dalam keheningan, menatap langit-langit rumah sakit dengan mata kosong. Kehidupannya berubah dalam sekejap, dan dia merasa seperti semua yang dia usahakan hancur begitu saja. Dia merasa terjebak dalam kegelapan yang mengelilinginya, tidak tahu apa yang harus dia lakukan selanjutnya.
Namun, di tengah kegelapan itu, ada suara lemah dari tempat tidur di dekatnya.