Santi duduk di teras rumah, menunggu Bintang suaminya yang sedang berdemo di balai kota. Dielusnya perutnya yang sedang hamil muda dengan perasaan bahagia namun sekaligus juga cemas. Sebagai isteri aktivis gerakan pro demokrasi, Santi sadar setiap saat dia bisa saja kehilangan suaminya . Dia sudah sering mendengar berita adanya upaya penculikan dan penghilangan aktivis pro demokrasi. Mereka dijemput oleh orang-orang asing berambut cepak dan setelah itu tidak pernah kembali lagi.
Terdengar suara motor memasuki halaman rumah, Bintang sudah pulang dari demo di balai kota, dengan perasaan lega Santi mendatangi suaminya
“Syukurlah kau sudah pulang, sedari tadi aku mencemaskanmu, takut kau ditangkap.”
Bintang hanya menatapnya lalu tersenyum
“Ayo masuk rumah,sebentar lagi maghrib, jangan kelamaan duduk di luar sore-sore nanti masuk angin.”
Bintang langsung menuju ke kamar mandi membersihkan diri, Santi bergegas ke dapur menyiapkan makan malam bersama ibu mertuanya. Tak lama kemudian suaminya sudah selesai mandi dan muncul kembali dengan wajah segar.
“San, malam ini aku harus pergi ke Jakarta, temanku mengajakku pergi bekerja di sana.”
Santi terkejut, baru kemarin dia berjumpa dengan Bintang dan sekarang Bintang sudah harus pergi lagi. Semenjak mereka menikah selama 5 bulan ini, dia jarang bertemu dengan suaminya. Setelah pesta pernikahan, selama sebulan, Bintang sempat tinggal di rumah melakukan aktivitas biasa menjadi wartawan lepas di sebuah Koran daerah terkadang mengamen untuk menambah oenghasilan. Setelah sebulan berlalu, Bintang mulai jarang berada di rumah. Terkadang suaminya pergi selama sebulan, lalu pulang ke rumah, tinggal selama 2 atau 3 hari, memberinya uang belanja, setelah itu pergi lagi sampai berhari-hari lamanya. Atau bahkan dia hanya pulang diam-diam di malam hari untuk sekedar mampir memberinya uang belanja, setelah itu pergi lagi.
“Kamu pergi lagi Mas? Apa tidak bisa ditunda besok? Padahal kita baru saja ketemu lho,” ujar Santi dengan nada kecewa.
Bintang mengeluarkan dua lembar uang 50 ribuan dan menyerahkannya pada Santi.
“Ini untuk membeli keperluan anak kita, nanti kalau aku pulang, aku tambahi lagi.”
Santi tidak terlalu antusias menerima uang dari suaminya. Sebenarnya bukan uang yang dia harapkan dari suaminya, tapi kehadiran suaminyalah yang paling dia inginkan. Soal uang bukanlah masalah bagi Santi yang sudah bekerja sebagai pelayan toko di sebuah toserba.
“Sebenarnya bukan uang ini yang kuharapkan, tapi kehadiranmu di rumah Mas,” ujar Santi dengan mata berkaca-kaca.
Santi merasa iri dengan teman-temannya yang ketika mereka hamil, suaminya selalu ada di sisi mereka, menjadi Suami Siaga seperti yang sering dia lihat di iklan televisi. Dia ingin ketika anaknya kelak lahir, Bintang bisa menungguinya melahirkan dan melantunkan adzan di telinga anaknya
Bintang memandangi Santi lekat-lekat lalu memegang bahunya dan berkata
“San, selama rezim diktator ini masih berkuasa, aku tidak bisa berdiam diri. Sudah 32 tahun orang itu berkuasa dan menganggap negara ini seperti miliknya dan keluarganya. Dia merasa dirinya seperti Raja menggunakan uang negara dan fasilitas negara untuk kepentingan bisnis anak-anaknya dan kroninya. Semua orang yang menentangnya pasti akan dilenyapkan dengan berbagai alasan dan tanpa pengadilan. Hanya kekuatan rakyat yang bisa menghentikan kezalimannya.”
Santi hanya terdiam tak mampu berkata-kata, Bintang selalu serius dengan apa yang dikerjakannya. Lagipula sejak awal dia sudah tahu bahwa Bintang adalah seorang aktivis yang tentu saja memiliki resiko ditangkap aparat atau dilenyapkan seperti tokoh-tokoh sebelumnya.