“Pendekar, kita hanya disuruh memeriksa bukan membunuh mereka, itulah sebabnya aku ditempatkan di sini untuk memastikan kondisi tubuh mereka, menjaga agar kalian tidak kelewat batas menyiksa aktivis!” Tukas seseorang.
Mendengar kata-kata orang itu Iwan tertegun, kemungkinan orang itu adalah dokter atau paramedis yang membawa stetoskop tadi.
“Dok, kau memang ditugasi untuk memastikan keselamatan mereka saat pemeriksaan tetapi ada hal-hal yang kau tidak tahu, beberapa dari aktivis ini ada yang harus dihilangkan karena mereka sangat berbahaya,” ujar orang yang dipanggil sebagai Pendekar.
Sepertinya mereka tidak menggunakan nama asli mereka, mungkin mereka tak ingin para aktivis di kemudian hari mencari mereka dan membalas dendam, Dan orang yang dipanggil Dok, pasti orang yang membawa stetoskop tadi. Mungkin dia seorang dokter atau paramedis, batin Iwan.
Mereka kemudian ribut bertengkar sendiri, Iwan menduga Pendekar sedang berdebat dengan Dokter. Sepertinya dia juga tak nyaman dengan tugas yang disandangnya sedangkan orang yang dipanggil dengan nama Pendekar tampaknya adalah orang yang ditakuti di kelompoknya.
Para penculiknya kemudian kembali mengajukan beberapa pertanyaan, tetapi tetap saja mereka tidak puas dengan jawaban yang diberikan Iwan.
“Saya benar-benar tidak tahu soal bom, tolong jangan siksa saya lagi!” teriak Iwan.
Kembali mereka menyiksanya dengan menyetrum tubuhnya dengan tongkat yang dialiri listrik, setelah itu pandangannya gelap, Iwan pingsan. Ketika sadar Iwan mendapati dirinya sudah terbaring di lantai selnya, dia sudah mengenakan pakaiannya kembali. Di dalam sel dia hanya menjumpai Ratno yang sedang berbaring, sementara suara musik dari radio masih berkumandang keras.
“Dimana Bintang?” Tanya Iwan
“Dia ada di dalam,” kata Ratno sambil menghembuskan asap rokoknya.
“Sudah berapa lama dia ada di dalam?”
“Mungkin sudah dua jam,” kata Ratno.
“Ah, semoga saja dokter itu bisa mencegah Pendekar untuk membunuhnya,” gumam Iwan lirih.
Iwan berbaring di lantai penjara dengan tubuh sakit rasa takut yang menyelimuti pikirannya. Dia tidak tahu sampai kapan mereka akan tetap di tempat itu dan hanya bisa berharap keadaan bisa segera berubah. Suara radio masih terdengar, menjelang tengah malam, barulah suara radio itu berhenti.
Entah sudah berapa lama dia tertidur yang jelas ketika dia melirik jam tangannya waktu sudah menunjukan pukul 03.00 pagi dan suara radio sudah berhenti. Ketika terbangun Iwan mendapati Bintang sudah kembali ke sel, sekujur tubuhnya penuh luka. Dia tertidur dengan keadaan yang tampak sakit dan lelah. Sepertinya siksaan yang dialami Bintang jauh lebih banyak dari dirinya karena Bintang adalah kurir yang menghubungkan organisasi mereka dengan organisasi lainnya.
Ingin rasanya dia membangunkan Bintang dan menanyakan keadaanya, tetapi melihat kondisinya yang penuh luka, dia tidak tega membangunkan Bintang. Iwan melayangkan pandangannya ke ruangan sebelah, ada dua orang pemuda seusianya sedang duduk bersandar di dinding sambil bercakap-cakap dengan Ratno melalui jeruji pembatas ruangan.
Belakangan baru diketahui mereka adalah Heru dan Norman aktivis pro demokrasi dari kota lain. Heru berasal dari Lampung sedangkan Norman berasal dari Banjarmasin.
Menjelang subuh, Iwan melihat Bintang sudah bangun. Terdengar dia mengeluh kesakitan, Iwan mendekati Bintang dan memeriksa lukanya. Melihat luka yang di derita Bintang, Iwan dapat membayangkan siksaan macam apa yang di derita Bintang. Dia melihat kuku bintang yang lepas, mukanya sudah babak belur, belum lagi tubuhnya yang penuh luka sundutan rokok dan sayatan silet.
Mereka ternyata sama biadabnya dengan orang-orang PKI yang selama ini dituding sebagai sekumpulan orang-orang kejam dan haus darah. Namanya orang yang rakus kekuasaan segala cara akan dihalalkan untuk mencapai tujuannya, batin Iwan.
Dengan suara gemetar Iwan bertanya