Salah seorang pesilat ada yang membawa kamera, dia adalah bagian dokumentasi perguruan Silat yang biasa diminta membuat dokumentasi perguruan silat itu setiap kali ada kegiatan. Sepertinya dia juga berprofesi sebagai wartawan atau fotografer professional karena kamera yang dibawanya juga kamera profesional. Dengan cekatan dia memotret mayat yang terikat di pohon. Kilatan lampu blitz menyala menerangi hutan kecil itu.
Salah seorang temannya berkata
“Hati-hati, kita tidak tahu orang ini mati dibunuh preman atau aktivis yang memang sengaja dihilangkan. Sebaiknya jika polisi datang kau menyingkir saja supaya kameramu tidak disita.”
“Tentu saja aku pasti menyingkir sebelum mereka datang, tapi jangan bilang-bilang kalau aku memotretnya ya,” Wartawan dadakan itu segera menyimpan kameranya di tasnya.
Tak lama kemudian datanglah perangkat desa meninjau tempat itu bersama beberapa penduduk kampung. Dalam sekejap tempat itu sudah ramai dikunjungi warga kampung di pesisir itu. Beberapa saat kemudian datanglah polisi beserta pelatih silat dan warga kampung lainnya. Anak buah Pendekar kembali ke tempat itu untuk melihat situasinya, namun melihat ada banyak orang di tempat itu, dia mengurungkan niatnya dan melapor pada atasannya.
“Pendekar, tempat itu sudah dipenuhi banyak orang, rombongan pesilat, warga desa dan polisi sudah memenuhi tempat itu.”
Pendekar menghentakan kaki dengan gusar
“Sial, kita gagal, mayatnya terlanjur ditemukan orang. Kelak mereka akan memiliki barang bukti penghilangan aktivis demokrasi.”
“Tenang saja Pendekar, orang-orang kita masih banyak yang memiliki pengaruh mereka akan membungkam media dan wartawannya yang nekat memberitakan hal ini,” kata anak buahnya.
Rombongan Pendekar kemudian pergi meninggalkan hutan kembali ke markas mereka.
*****
Solo 15 Mei 1998
Setelah shalat subuh, Santi kembali tidur karena lelah setelah semalaman begadang. Dia terbangun ketika jam sudah menunjukan pukul 06,30, Santi terkejut dan buru-buru bangun. Namun ketika melihat Lani yang sudah selesai mandi, dia baru sadar bahwa hari ini dia tidak bisa bekerja.
“Aku kaget waktu bangun ternyata hari sudah siang, tapi begitu ada Cik Lani di sini baru nyadar hari ini aku gak kerja.”
Lani yang sedang menyisir rambut terkekeh mendengar cerita Santi.
“Ya, aku sendiri sempat lupa kalau sedang berada di rumah orang. San, bisa nggak temani aku menengok keadaan toko dan rumahku? Jika memungkinkan hari ini juga aku mau pulang,” kata Lani.
“Tentu saja, nanti saya antar setelah sarapan.”
“San, ternyata kamu di sini tinggal dengan mertuamu ya? Kalau orangtuamu tinggal di mana?”
“Kebetulan orang tua saya tinggal di Sragen, sebelum menikah waktu kerja di tempat Cik Lani saya ngekos dekat toko. Setelah menikah, suami saya mengajak tinggal di rumah orang tuanya,” tutur Santi.