Malam itu Iwan dan teman-temannya membaca berita di Koran untuk mengikuti perkembangan politik. Mereka gembira mengetahui Sang Penguasa sudah lengser keprabon.
“Nikmatilah malam terakhir di penjara ini, besok kalian sudah bebas,” kata polisi penjaga penjara.
“Benar Pak kami bebas?” Tanya Iwan dengan gembira.
“Ya, khusus yang tahanan politik bisa bebas yang kriminal ya tetap di sini,” kata polisi itu.
Keesokan harinya polisi penjaga penjara membuka pintu sel dan berkata
“Nanti kalau kalian sudah jadi pejabat, jangan lupa saya ya.”
“Lho, kok Bapak tahu kami bakalan jadi pejabat?” Tanya Ratno.
“Ya pastinyalah, dulu-dulu jauh sebelum kalian, banyak mahasiswa yang aktif berpolitik, mereka sekarang pada dapat jabatan masa kalian enggak,” ujar polisi itu.
Iwan sejenak tertegun, dia mulai bertanya-tanya setelah ini apa yang akan terjadi pada dia dan teman-temannya para aktivis pro demokrasi itu? Apakah mereka akan menjadi pejabat negara dan membangun rezim baru atau justru menjadi oposisi teman-teman seperjuangan mereka. Sejarah telah mencatat bahwa di rezim sebelumnya, para mahasiswa di masa lalu itu juga memperjuangkan kepentingan rakyat. Setelah rezim baru berkuasa, para aktivis di masa lalu itu sekarang banyak yang menduduki posisi penting di negara ini. Tetapi begitu mereka mengenal harta dan tahta, idealisme mereka perlahan terkikis menjadi sekhianat-khianatnya. Beberapa dari mereka justru bekerja sama dengan Sang Penguasa untuk melanggengkan cengkeraman kekuasaan sedangkan sebagian lagi teman-teman mereka yang memperingatkan dan melawan mereka justru menerima nasib di penjara atau yang lebih apes dituduh sebagai PKI.
Iwan kemudian berpisah dengan Ratno di halte dan pulang menuju rumah kosnya. Sesampainya di rumah kosnya, situasi rumah kos tampak sepi. Namun Iwan beruntung, rumah kosnya yang tempatnya masuk perkampungan di gang sempit justru terhindar dari amukan massa yang membakar rumah dan toko.
Seorang teman kosnya yang akan keluar rumah terkejut melihat Iwan.
“Iwan, waduuh kami semua sudah kuatir dengan kamu. Kemana saja kamu selama ini kok tidak pernah pulang? Apa kamu pulang kampung?”
“Ehm…ya aku pulang kampung,” kata Iwan dengan sedikit tergagap.
Dia tidak mungkin bercerita tentang penjara dan penyiksaan pada mereka. Tak seorangpun tahu bahwa dirinya adalah seorang aktivis. Teman-teman kosnya hanya tahu bahwa Iwan bekerja sebagai sales rumah. Tiba-tiba wajah teman kosnya tampak seperti teringat sesuatu
“Oh ya Wan, tiga hari yang lalu ada orang kemari mencarimu, dia mengaku sebagai customermu mau menanyakan perihal penjualan rumah. Wah customermu itu cantik lho, wajah dan bodynya keren kaya Sophia Latjuba. Karena kau tidak ada dia kembali pulang. Tapi katanya kau disuruh menghubungi nomor telepon kantornya, sebentar aku ambilkan catatannya.”
Teman kosnya kembali ke kamarnya lalu keluar dengan membawa secarik kertas.
“Nah, ini nomor telepon kantornya, sudah ya aku mau pergi dulu.”
Iwan hanya mengangguk sambil melambaikan tangan.