Sheila dan Gilang terkejut, kegelapan kini menguasai mereka berdua. Gilang segera menghidupkan senter di ponselnya.
“Biasanya kalau pemadaman karena hujan akan memakan waktu lama. Sebaiknya kita lapor PLN agar segera memperbaiki jaringan listrik di kampung ini,” usul Gilang.
“Gilang, kamu jangan pulang dulu ya nanti kalau listrik menyala lagi baru kamu pulang, Aku takut sendirian dalam gelap,” kata Sheila.
“Ya, ga papa kamu lapor PLN dulu saja supaya jaringan listriknya segera diperbaiki,” kata Gilang.
Sheila mencari emergency lamp dan menghidupkannya, namun ternyata emergency lamp tidak mau menyala.
“Ah sial lampunya rusak, aku terpaksa cari lilin.”
Sheila membawa lilin ke ruang tamu, kemudian menelpon PLN melaporkan kerusakan jaringan listrik di wilayahnya. Usai menelpon Sheila terkejut ternyata Gilang sudah duduk di sebelahnya menatapnya dalam-dalam. Sheila tertegun menyadari dirinya sudah begitu dekat dengan GIlang, dadanya berdebar kencang apalagi ketika tangan Gilang membelai rambut dan wajahnya. Selama mereka berpacaran belum pernah dia berada sedekat ini dengan Gilang. Sementara dada Gilang berdebar kencang, di tengah temaram sinar lilin, wajah Sheila tampak begitu cantik di matanya.
Petir kembali menggelegar, Sheila terkejut dan tanpa sadar memeluk Gilang yang segera membalas pelukannya. Tubuh Sheila bergetar dalam pelukan Gilang, dia tak berdaya ketika tiba-tiba bibir Gilang sudah menyentuh bibirnya. Setelah itu mereka sudah melupakan segalanya, terbakar dalam api asmara yang membara.
Hujan sudah berhenti, listrik sudah menyala kembali. Gilang melirik Sheila yang tidur dalam pelukannya, ketika menyingkapkan selimutnya dilihatnya ada bercak darah di sprei Sheila. Pemuda itu melihat jamnya
Sudah jam 22.10, saatnya pulang, pikir Gilang.
Dia segera bangun dan mengenakan pakaiannya kembali lalu mencium Sheila yang masih tertidur dan berkata lirih
“Sheila, aku pulang dulu.”
Gadis itu terbangun dan tersenyum melihat Gilang di sisinya. Dia memeluk Gilang dengan manja
“Gilang jam berapa sekarang?”
“Sudah jam sepuluh, aku harus pulang sekarang,” kata Gilang sambil mengecup kening Sheila.
Dengan malas Sheila bangkit dari tidurnya, ingin rasanya dia memeluk Gilang di ranjangnya sampai pagi namun hal itu tidak mungkin dilakukannya.
“Tunggu sebentar aku bukakan pintunya.”
Sheila mengantar Gilang sampai pintu pagar dan menatap kepergian Gilang sampai menghilang di tikungan. Hari itu hatinya begitu bahagia, malam itu dia merasa memiliki Gilang seutuhnya. Rasa bersalah yang sempat singgah di hatinya ditepisnya.
Ah, sekarang sudah banyak orang berpacaran yang melakukannya, kenapa harus takut? Lagi pula baru sekali kulakukan, kurasa itu tidak akan membuatku hamil. Kalaupun aku hamil, aku yakin Gilang pasti bersedia bertanggung jawab, batin Sheila.
*****
Semenjak itu, Gilang disibukan dengan kegiatan mencari berita tentang peristiwa penangkapan ayahnya dan semua peristiwa yang berkaitan dengan penangkapan dan penghilangan para aktivis tahun 98. Tidak hanya berselancar lewat internet, Gilang juga mencari tahu dengan membaca kliping Koran atau majalah dan buku-buku tentang peristiwa kerusuhan tahun 1998 di perpustakaan. Pencariannya membuahkan hasil, dia berhasil mengetahui banyak berita seputar aktivitas ayahnya di masa lalu dan bagaimana awal mula kerusuhan yang terjadi di tahun 98 itu terjadi sampai orang-orang yang berada dalam tim inteligen itu. Namun dia masih penasaran dengan orang yang memotret jenazah ayahnya dan perguruan silat yang menemukan jenazah ayahnya.