Mendadak Gilang menangis, dia mengeluarkan test pack dari Sheila lalu diberikan kepada ayahnya. Iwan terkejut ketika melihat garis dua itu.
“Wan…kau…?”
Gilang mengangguk lalu menjawab
“Ya, aku yang melakukannya Ayah, saat itu aku lupa diri. Aku sangat mencintai Sheila, tapi aku tahu kami tidak mungkin bersatu karena ayahnya adalah orang yang menculik dan menyiksa Bapak dan Ayah. Dia orang yang paling bertanggung jawab terhadap kematian Bapak.”
Gilang kembali meneteskan air mata, suasana hening hanya isak tangis Gilang yang terdengar. Kkeduanya duduk terpaku di tempatnya tanpa mampu berkata-kata. Suara lirih Iwan kemudian memecah keheningan
“Apa ini memang sudah kau rencanakan untuk membalas dendam pada ayah Sheila? Membuatnya kehilangan orang yang dicintainya?”
Gilang tidak menjawab, dia hanya menghela nafas. Harno telah menerima balasannya tetapi balasan yang diterima Harno juga membuat Gilang sakit karena harus kehilangan kekasih yang dicintainya sekaligus calon anaknya.
******
Di rumahnya Harno hanya duduk termenung di ruang kerjanya. Isterinya datang menengoknya, menyuguhkan secangkir teh yang masih hangat mengepul, lalu duduk di depan suaminya. Dia mengamati wajah suaminya yang sudah tampak lelah lalu menghela nafas panjang
“Pak, mungkin inilah karma yang kita terima, tanganmu berlumur darah para pejuang reformasi. Saat itu kamu selamat dari pengadilan di dunia, kamu lolos dari hukuman dan bahkan menerima banyak kemuliaan menjadi seorang wakil rakyat sekaligus memperoleh banyak imbalan sebagai upahmu melenyapkan para aktivis itu. Janganlah kamu menyalahkan Gilang, kamu sudah berhutang banyak pada keluarga mereka. Lihat apa yang kita peroleh setelahnya? Dimas terkena kasus narkoba, Sheila meninggal karena kecelakaan dalam keadaan hamil tanpa kita tahu siapa laki-laki yang menghamilinya. Sudahlah, berdamailah dengan keadaan, tak perlu lagi mengungkit-ungkit masalah Sheila dengan Gilang, toh Sheila sudah tiada. Pak, ikhlaskan saja kematian Sheila, kalau kamu terus mengungkitnya dengan Gilang itu hanya membuat Sheila tidak tenang di alam baka dan membuatku sedih”
Harno hanya terdiam setelah itu dengan lirih dia berkata
“Waktu itu aku orang yang sangat idealis, aku menganggap apapun yang diperintahkan kepadaku adalah semata-mata untuk negara. Tapi kenyataannya aku hanyalah sebagai seorang anjing penjaga si Penguasa dan Keluarganya. Aku tahu mereka memanfaatkanku tetapi mereka jugalah yang menyelamatkan aku dari hukuman lewat orang-orang mereka yang masih berpengaruh.”
“Semua yang kita alami ini pastilah ada penyebabnya, sadarlah Pak perbuatan buruk yang kita lakukan di dunia ini pasti ada balasannya,” hibur isterinya.
Harno menyeruput teh hangat dari cangkirnya lalu berbicara kembali
“Apa kau pikir aku merasa tidak bersalah pada mereka? Bertahun-tahun suara teriakan kesakitan mereka ketika kusiksa selalu menghantui diriku. Tubuh mereka memang sudah lemah dan terluka bahkan tak mampu lagi menyangga tubuhnya, mulut mereka sudah tidak dapat lagi berbicara bahkan makan dan minumpun sudah tak mampu karena dihantam popor senjata. Tetapi aku tidak pernah lupa dengan tatapan mata mereka yang tetap menyalakan semangat untuk menghapus kediktatoran dan mengubah keadaan di negeri ini. Tapi sayang, selama orang-orang lama masih berkuasa, mereka tidak akan pernah bisa menuntut keadilan atas mereka. Mungkin hanya pengadilan di hari akhirlah yang bisa menghukum kami dengan seadil-adilnya,” kata Harno sambil tertawa getir.
Isterinya mulai menangis, lalu pergi meninggalkannya sendirian di ruangannya. Harno merenungi nasib yang menimpa dirinya dan keluarganya. Dia membuka lemari yang sudah 20 tahun terkunci, ada barang-barang miliknya di masa lalu seperti pistol FN, pisau komando, seragam, sepatu dan kartu anggota. Harno mengambil pisau komandonya lalu membawanya kembali ke mejanya dan menimangnya semalaman.