Di sisi lain, Hendro, adik Raka, masih menyimpan dendam yang membara di hatinya. Dia tidak pernah memaafkan Arga atas kematian kakaknya. Setiap kali bertemu Arga, Hendro selalu menatapnya dengan tatapan tajam yang penuh kebencian.
"Entah sampai kapanpun, rasa benciku tidak akan hilang, Arga!"
Tatapan matanya tajam, seperti tidak ada kata maaf di hati Hendro.
Kemarahan Hendro bukan tanpa alasan, semenjak sang kakak yaitu Raka' meninggal, hidup Hendro berubah... Ibunya setres dan linglung, dan sampai saat ini sakit. Sementara sang ayah meninggal belum lama ini.
°°°°°
Jam pulang.
Petang.
Lagi-lagi ketenangan tak bersahabat dengan Arga, bayang-bayang Hendro terus ada di setiap kali jam-jam tertentu.
Seperti halnya jam pulang kerja... Di saat Arga berjalan menuju mobilnya, Hendro berjalan dengan mengatakan seorang pembun*h pada Arga, Arga hanya menoleh sekilas. Ia menghela nafas mengatur pikiran kacau.
Tak perduli itu, Arga segera masuk ke dalam mobilnya.
Namun, di tengah kegelapan hatinya, Arga masih menyimpan secercah harapan. Dia berharap suatu hari nanti, Hendro bisa memaafkannya. Dia berharap luka masa lalu bisa disembuhkan, dan dendam yang membara di hati Hendro bisa padam.
Arga menghela nafas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia tahu, dendam Hendro tak akan mudah dipadamkan. Rasa bersalah yang mencengkeram hatinya semakin kuat. Ia tak pernah bermaksud mencelakai Raka, tapi takdir berkata lain.
“Aku harus bicara dengan Hendro,” gumam Arga dalam hati. “Aku harus menjelaskan semuanya, meskipun aku tahu itu tak akan mudah.”
Ia melajukan mobilnya dengan hati-hati, pikirannya melayang ke masa lalu. Saat SMA itu, ia dan Raka juga erik adalah sahabat karib. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, berbagi cerita, dan saling mendukung. Namun, tragedi tragis itu, merenggut nyawa Raka, dan menghancurkan persahabatan mereka.
Arga teringat bagaimana Hendro menatapnya dengan tatapan penuh kebencian. Ia tahu, Hendro menyalahkannya atas kematian Raka. Namun, Arga tak pernah bermaksud membuat Raka celaka. Tragedi itu terjadi begitu cepat, Arga berfikir ia mampu berenang, dan tak akan terbawa ombak, namun, kaki kramnya membuatnya tak mampu berenang dan hampir tenggelam.
Raka berhasil menolongnya hingga di bantu Erik untuk menyeret Arga sampai ke tepian, namun sayang, ombak besar kembali, dan menyeret Raka yang belum sempat menepi.
“Aku harus mencari cara untuk meredakan amarah Hendro,” pikir Arga. “Aku harus membuatnya mengerti bahwa aku tak pernah bermaksud membuat celaka kakaknya.”
Ia memutuskan untuk menemui Hendro esok hari, meskipun ia tahu itu akan menjadi pertemuan yang sulit. Ia harus bersiap menghadapi amarah dan kebencian Hendro. Ia harus berusaha untuk menjelaskan semuanya, meskipun ia tahu itu tak akan mudah.
“Aku harus mencoba,” gumam Arga. “Demi Raka, dan demi diriku sendiri.”
Arga melajukan mobilnya menuju rumah. Sejenak ia lupakan kemelut masalah di pikirannya.
Sampai di rumah, Arga masuk memberi salam seperti biasa... Melihat sang ayah yang duduk di ruang tamu, Arga hanya diam. ia tahu' sang ayah tak begitu peduli dengannya kecuali pada kakaknya.
Ia pun segera naik ke kamarnya yang ada di lantai atas, sang mamah yang melihatnya menegur. "Arga, sudah pulang kamu?" ucapnya sembari membawa nampan kecil berisi secangkir kopi untuk sang ayah.
Arga mengangguk, "iya, mah. Baru saja."
Sang mamah segera menyuruh mandi dan langsung makan malam, sang mamah juga mengatakan jika kakaknya akan datang untuk sekedar mampir.