Keringat dingin menemani perjalanannya menuju kediaman rumah orang tua, Arga menahan sakit, tangan terasa gemetar.
Bekas luka tinju ulah Hendro tempo hari belum juga pulih, Hendro kembali meninjunya bahkan menendangnya tanpa ampun, saat ia berusaha meminta maaf dan menjelaskan bahwa dirinya tidak bersalah.
...
Sampai di kediaman orang tua.
Mobil sport merah itu berhenti dengan bunyi decitan ban yang nyaris tak terdengar di tengah deru mesin yang sudah mulai uzur. Arga keluar, tubuhnya limbung, tangan kanan memegangi perut yang terasa seperti tercabik-cabik. Wajahnya pucat pasi, keringat dingin membasahi dahinya. Langkahnya gontai, setiap langkah terasa menusuk-nusuk perutnya.
Ayahnya, sedang asyik membaca buku favoritnya di ruang tamu, menyadari kedatangan Arga. Suara pintu mobil terdengar terbanting pelan yang sedikit mengalihkan perhatiannya. Ia menoleh, sekilas melihat Arga yang tampak kesulitan berdiri tegak.
“Arga? Kenapa baru pulang? Ibu sudah menunggumu,” ujar Ayahnya, tanpa mendekat. Suaranya datar, lebih fokus pada buku favorit di tangannya daripada putranya yang tampak menderita. Mata Ayahnya masih tertuju pada buku, dengan ilmu-ilmu menarik di dalamnya.
Arga mengerang pelan, napasnya tersengal. Tangannya masih mencengkeram perutnya, mencoba meredam rasa sakit yang menggelegak. Ia ingin berteriak, ingin meminta pertolongan, tapi kata-kata seakan tersangkut di tenggorokan. Hanya kesakitan yang mampu ia rasakan. Ia hanya mampu terhuyung-huyung menuju kamarnya di lantai atas, meninggalkan Ayahnya yang masih asyik dengan buku favoritnya, tak menyadari betapa putranya sedang berjuang melawan rasa sakit yang amat sangat.
...
Sampai di kamar.
Dengan susah payah, Arga mencapai kamarnya. Ia merosot lemas ke lantai, tubuhnya menekuk mengikuti rasa sakit yang mengamuk di perutnya. Napasnya tersengal-sengal, keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Ia meringkuk, memeluk perutnya erat-erat, berharap sentuhan itu bisa meredakan sedikit rasa sakit yang menyiksa. Kegelapan di sekelilingnya seakan semakin memperparah penderitaannya. Ia sendirian, kesakitannya terpendam dalam sunyi. Tak ada yang tahu, tak ada yang peduli.
Beberapa saat kemudian, terdengar ketukan pelan di pintu. “Arga? Kamu sudah pulang?” Suara lembut Ibunya memecah kesunyian.
Arga berusaha mengatur napasnya, mencoba untuk terdengar biasa saja. “Iya, Mah. Aku sudah pulang.”
Suaranya terdengar sedikit serak, namun ia berusaha menyembunyikannya.
Pintu terbuka, dan sang ibu masuk. Wajahnya tampak khawatir. Ia melihat Arga duduk di lantai, tubuhnya sedikit gemetar. “Kenapa kamu di lantai, Ga? Kamu kenapa?” tanya sang ibu.
Arga memaksakan senyum, mencoba untuk terlihat baik-baik saja. “Enggak papa, Mah. Aku cuma sedikit lelah.”
Ia berusaha berdiri, namun tubuhnya limbung, hampir saja jatuh kembali. Ibu Arga sigap memegangi lengannya.
“kamu bohong, Arga. Wajahmu pucat sekali. Ada apa sebenarnya?” tanya Ibu Arga menatap putranya dengan penuh kekhawatiran. Sentuhan lembut tangan Ibu di lengannya, terasa begitu kontras dengan rasa sakit yang menggelegak di perutnya. Arga menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi. Ia harus menyembunyikannya, setidaknya untuk saat ini. Ia tak ingin membuat mamanya khawatir.
"Tidak apa-apa mah ... Sudah, mamah keluar dulu, aku mau mandi."
Arga berusaha meyakinkan sang ibu, yang melihatnya khawatir.
Ibu Arga masih ragu. Ia menatap putranya lekat-lekat, mencoba membaca apa yang sebenarnya terjadi. Wajah pucat Arga, keringat yang masih membasahi dahinya, dan cara ia memegangi perutnya—semuanya menunjukkan bahwa putranya sedang menyembunyikan sesuatu. Namun, Arga bersikeras. Ia mendorong lembut Ibunya ke arah pintu, matanya memohon pengertian.