"Kenapa dia, Mah? Sudah besar begini ... Umur sudah mau nginjak kepala tiga masih di tunggu," tanya Arman, sembari mengejek, setelah menyalami sang ibu.
Sang ibu memberi kode, menunjukan bahwa Arga tengah sakit.
“Ma, Arga ini payah amat sih, badan gede begini, sakitnya cuma masuk angin doang minta di tungguin! Dulu waktu kecil, jatuh dari pohon aja nggak nangis,” ejek Arman.
Sang Ibu mengelus punggung Arman lembut. “Sudah, Man. Adikmu lagi sakit, jangan diganggu,” suaranya lembut namun tegas.
Raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam.
Arman menghela nafas. Sementara Arga merasakan Perutnya terasa seperti diremas-remas. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya kembali, Batuknya semakin menjadi-jadi, nafasnya semakin sesak. Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, berusaha menahan erangan agar tak terdengar oleh ibu dan kakaknya. Selimut yang menutupi tubuhnya ia genggam erat.
Arman sang kakak dan sang ibu, sama sekali tak menyadari penderitaan Arga. Ia malah kembali menggoda Arga. "Bangun lah ga, sakit tu jangan di bawa tiduran terus' nanti tambah sakit!"
Sang ibu menatap Arman, “Arman!” tegur Ibu dengan nada tinggi. “Mama bilang jangan diganggu!"
Arman terdiam. Ia mengangkat kedua tangannya seakan menyerah. “Iya, iya, Ma. Ampun. Aku cuma bercanda kok.” Ia melirik Arga sekilas, lalu beralih menatap ibunya. “Ma, aku ke depan sebentar, leo ikut... Dia tadi di bawah sedang sama ayah dan Mira."
Sang ibu mengangguk pelan, dengan mengulas senyum.
Setelah Arman pergi, Ibu menatap Arga dengan penuh kasih sayang. “Arga, kamu kenapa, Ga? Kenapa diam saja?” tanyanya lembut sambil mengusap pundak Arga.
Arga menggeleng lemah. “Nggak apa-apa, Ma. Cuma masuk angin saja,” jawabnya lirih, suaranya tercekat. Ia masih berusaha menyembunyikan rasa sakit yang luar biasa di perutnya. Ia tak ingin membuat ibunya khawatir.
Semakin ditahan, rasa mual dan nyeri di perutnya semakin menjadi. Keringat dingin kini membasahi seluruh tubuhnya.
Arga merasa seperti ada bara api yang membakar ususnya. Pukulan Hendro sore tadi ternyata lebih parah dari sebelumnya. Rasa sakit yang menusuk di ulu hatinya membuatnya sulit bernapas.
Ia tak tahan lagi. Erangan kecil lolos dari bibirnya. Tubuhnya bergetar hebat.