Belenggu Masalalu

Dinar sen
Chapter #7

Kedatangan Rossa

Detik-detik terasa merayap bagai siput di dinding rumah sakit yang dingin dan steril.

Aroma antiseptik yang menusuk hidung tak mampu mengusir bau ketakutan yang menggantung tebal di udara. Arman mondar-mandir di koridor, telapak tangannya berkeringat meskipun AC sentral rumah sakit meniupkan udara dingin.

Sesekali ia melirik pintu ruang ICU, berharap ada seorang perawat atau dokter yang keluar dan memberi kabar, kabar apa saja, asalkan bukan kabar buruk.

Mamah duduk di kursi tunggu, wajahnya pucat pasi. Jemarinya yang keriput menggenggam tasbih erat-erat, bibirnya komat-kamit melantunkan doa. Bahunya bergetar halus, menahan isak yang ingin meledak. Ayah duduk di sampingnya, tegar dan diam, namun sorot matanya menyimpan kecemasan yang tak kalah dalamnya.

Sesekali ia mengusap punggung Mamah, mencoba menyalurkan kekuatan dan ketenangan, meskipun ia sendiri merasa rapuh.

“Kenapa bisa begini, Man?” ucapnya, suara Mamah terdengar lirih, nyaris seperti bisikan.

Arman menghentikan langkahnya, mendekati Mamah dan berjongkok di hadapannya. “Kita belum tahu, Mah. Dokter sedang memeriksa Arga.”

Suaranya terdengar serak, berusaha terdengar meyakinkan meskipun hatinya sendiri dipenuhi keraguan. Ia tak berani menceritakan kecurigaannya, kecurigaan yang membuatnya gelisah sejak melihat Arga seperti menahan sakit satu hari yang lalu.

Ia takut Mamah tak akan sanggup menerima kenyataan jika Arga, anak bungsu mereka yang periang dan penurut, menjadi korban kekerasan.

Keheningan kembali menyelimuti mereka. Hanya suara mesin pendeteksi detak jantung dari dalam ruang ICU yang terdengar monoton, seakan menghitung mundur waktu. Setiap denting jarum jam dinding terasa seperti pukulan palu yang menggedor dada Arman. Ia memejamkan mata, membayangkan Arga terbaring lemah di balik pintu itu, berjuang melawan maut. Rasa bersalah menggerogoti hatinya.

Andai saja ia lebih peka, andai saja ia lebih peduli, mungkin semua ini tak akan terjadi.

Pintu ruang ICU terbuka. Seorang Dokter berjas putih keluar, wajahnya tampak lelah.

Arman, Mamah, dan Ayah serentak berdiri, mata mereka tertuju pada sang Dokter, menanti vonis yang akan menentukan nasib Arga.

“Dokter, bagaimana keadaan adik saya?” tanya Arman melangkah maju, suaranya tercekat di tenggorokan. Mamah di belakangnya tampak limbung, Ayah segera meraih lengannya dan membantunya berdiri tegak. Wajah tua itu memucat, bibirnya bergetar tanpa suara.

Dokter menghela napas panjang, raut wajahnya serius. “Kondisi pasien kritis. Pendarahan di lambungnya cukup parah.”

“Pendarahan di lambung?” Arman mengulang kata-kata dokter, dahi berkerut, “tapi … apa penyebabnya, Dok?”

Dokter menatap Arman dengan tatapan penuh arti. “Dari hasil pemeriksaan, kami menemukan indikasi trauma benda tumpul di area perut. Tampaknya pukulan yang cukup keras menyebabkan kerusakan pada organ dalamnya, hingga mengakibatkan pendarahan.”

Kata-kata dokter bagai petir di siang bolong. Arman terpaku, darah seakan surut dari wajahnya. Trauma benda tumpul? Pukulan keras? Kecurigaannya selama ini terbukti. Arga bukan sakit biasa.

Mamah terhuyung, nyaris jatuh jika Ayah tidak sigap menahannya. Isak tangis yang sedari tadi ditahan akhirnya pecah, “pukulan? Siapa yang memukul anak saya, Dok? Arga anak baik, dia tidak punya musuh!” Tangisnya pilu, memilukan hati siapapun yang mendengarnya.

Dokter tampak iba. Ia mengusap wajahnya yang lelah. “Kami hanya fokus pada penanganan medis, Bu. Mengenai penyebab pastinya, mungkin pihak kepolisian bisa membantu menyelidikinya,” Ia menoleh ke arah Arman. “Untuk saat ini, kami akan terus memantau kondisi pasien. Kami membutuhkan persetujuan keluarga untuk melakukan operasi secepatnya.”

Arman mengangguk, pikirannya berkecamuk. Ia harus mencari tahu siapa yang tega melakukan ini pada adiknya. Ia harus mendapatkan keadilan untuk Arga. Namun saat ini, yang terpenting adalah menyelamatkan nyawa adiknya. “Lakukan apa saja yang terbaik untuk adik saya, Dok,” ucapnya lirih, suaranya bergetar menahan amarah dan kesedihan yang bercampur aduk.

...

Jam dinding rumah sakit menunjukkan pukul tiga dini hari. Koridor lengang, hanya sesekali perawat berlalu lalang. Arman masih setia duduk di kursi tunggu depan ICU, matanya terpejam. Kelelahan fisik dan beban pikiran membuatnya terkantuk-kantuk, namun ia memaksakan diri untuk tetap terjaga. Ia harus ada di sini, untuk Arga.

Mamah dan Ayah sudah pulang beberapa jam yang lalu. Istrinya menelepon, mengingatkannya untuk beristirahat, dan berjanji akan menjaga Mamah dan anak mereka. Arman tahu Mamah sebenarnya enggan meninggalkan Arga, namun ia juga tak tega membiarkan cucunya sendirian di rumah. Lagipula, kondisi Mamah yang semakin lemah membuatnya tak sanggup bergadang semalaman di rumah sakit.

Arman menghela napas panjang, pikirannya melayang pada Arga. Ia teringat masa kecil mereka, saat mereka bermain bola di lapangan dekat rumah, berebut mainan, dan berbagi permen. Arga selalu menjadi anak yang ceria dan periang, senyumnya mampu mencerahkan suasana hati siapapun, selain itu bagi Arman' Arga adalah anak paling ngeyel dan aktif.

Siapa yang tega melukai anak sebaik Arga? Pertanyaan itu terus berputar di benaknya, membuat dadanya sesak.

Lihat selengkapnya