******
Gelas ketiga wiski terasa hambar di lidah Hendro. Es batu di dalamnya telah mencair, meninggalkan jejak air yang dingin di permukaan meja kayu yang kusam. Lampu remang-remang bar “Naga Api” hanya sedikit meredakan kegelapan yang mencengkeram hatinya.
Bau asap rokok dan aroma alkohol yang menyengat tak mampu mengaburkan rasa pahit yang terus menggerogoti jiwanya. Ibunya. Wajah ibunya yang pucat pasi, terbaring lemah di ranjang rumah sakit, kembali terbayang jelas. Setiap tarikan napas berat yang terdengar samar dari balik pintu kamarnya, setiap tetesan air mata yang diam-diam ia usap, semuanya terasa seperti pisau yang terus menusuk-nusuk hatinya.
Sebuah tangan kasar menepuk bahunya. Hendro menoleh, mendapati Pak Yongki, pemilik bar, berdiri di sampingnya. Pak Yongki, dengan wajahnya yang selalu ramah, kini tampak sedikit prihatin.
“Hendro, sudah tiga gelas kau minum. Cukuplah. Kau terlihat sangat kacau,” kata Pak Yongki, suaranya lembut.
Hendro hanya menggeleng lemah, matanya menatap kosong ke arah gelas wiski yang hampir kosong. “Tidak cukup, Pak Yongki. Rasa sakit ini … tidak akan pernah cukup.”
“Arga … lagi?” tanya Pak Yongki, suaranya penuh pengertian. Ia sudah lama mengenal Hendro, dan tahu betul beban yang selama ini ia pikul.
Hendro mengepalkan tangannya, urat-urat di tangannya menegang. “Ya, Arga. Selalu Arga. Seandainya bukan karena dia … Ibu tidak akan begini. Semua ini salahnya!” Suaranya bergetar, dipenuhi amarah yang terpendam. Ia membayangkan wajah Arga, wajah yang selalu membuatnya geram, wajah yang selalu mengingatkannya pada derita yang tak kunjung usai. Amarah itu, seperti api yang membakar, semakin menyala-nyala di dalam dadanya. Ia ingin melampiaskannya, tapi pada siapa? Pada Arga? Atau pada dirinya sendiri? Pertanyaan itu menggantung, tak terjawab, di tengah kegelapan malam yang semakin pekat. Hanya kesunyian dan aroma alkohol yang menemani kesedihannya yang mendalam.
Kenangan akan beberapa hari lalu kembali menghantui Hendro. Pukulan-pukulan yang ia layangkan pada Arga, rasa puas yang sesaat, kini terasa hampa. Seperti setetes air di lautan luas, tak mampu memadamkan api amarah yang membakar jiwanya.
Ia masih terbayang wajah Arga yang pucat, tapi itu belum cukup. Itu sama sekali tidak cukup untuk membalas rasa sakit yang telah lama ia pendam, rasa sakit yang sama seperti yang dirasakan Raka, kakaknya yang telah pergi selamanya karena tenggelam—kematian yang menurut Hendro, secara tidak langsung disebabkan oleh Arga.
Kini, ibunya pun semakin parah. Linglung, menolak makan, tubuhnya semakin kurus dan lemah. Bayangan ibunya yang terbaring lemah di rumah sakit, dengan selang infus yang menancap di tangannya, semakin memperkuat rasa bencinya pada Arga. Setiap helaan napas ibunya yang berat, setiap tetes air mata yang jatuh dari pipinya, semuanya menjadi bukti nyata atas kesalahan Arga—demikian pikir Hendro.
Ia merasa Arga harus merasakan penderitaan yang sama, merasakan kepedihan yang sama seperti yang ia rasakan saat ini.
Hendro membayangkan Arga tenggelam, terombang-ambing di lautan luas, berjuang untuk bertahan hidup, seperti yang dialami Raka dulu. Bayangan itu, mengerikan sekaligus memuaskan, memenuhi pikirannya.
Rasa benci yang membara itu, seperti api yang tak pernah padam, terus membakar hatinya, menghancurkan sisa-sisa ketenangan yang masih tersisa.
Ia harus melakukan sesuatu, sesuatu yang lebih … sesuatu yang akan membuat Arga merasakan penderitaan yang setara dengan apa yang telah ia alami.
Tapi apa? Pertanyaan itu menggantung di udara, di tengah kegelapan malam yang semakin pekat, diiringi oleh bisikan-bisikan amarah yang terus bergema di dalam hatinya. Ia butuh rencana, rencana yang lebih terencana, lebih efektif, untuk membuat Arga merasakan penderitaan yang sama seperti yang dirasakannya.
*****