Mentari sore mulai merunduk di ufuk barat, menebarkan warna jingga dan merah muda di langit. Arga duduk termenung di sofa, pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian beberapa hari lalu dan nada superior Arman yang masih bergema di telinganya. Ia merasa lelah, lelah secara fisik dan mental. Tiba-tiba, ketukan pintu membuyarkan lamunannya.
Rossa. Ia datang. Wajah Rossa yang biasanya ceria tampak sedikit lesu, namun matanya memancarkan kepedulian. Arga membukakan pintu, menyambut Rossa dengan senyum yang agak dipaksakan. “Masuk, Ros,” ujarnya.
Saat Rossa melangkah masuk, Arga tanpa sengaja melirik ke luar jendela. Di balik rimbunnya pohon mangga tetangga, sebuah bayangan familiar tertangkap matanya. Sosok tinggi besar yang beberapa hari lalu menghajarnya. Hendro. Ia hanya terlihat sekilas, tapi Arga yakin itu dia. Hendro sedang mengintai dari kejauhan, wajahnya tersembunyi di balik dedaunan, namun tatapannya yang tajam terasa menusuk.
Kehadiran Rossa yang seharusnya membawa kelegaan, justru semakin memperkuat rasa cemas Arga. Kehadiran Hendro, yang mengintai dari kejauhan, menciptakan suasana mencekam. Pembelaan Arman yang terasa palsu, luka fisik yang masih terasa nyeri, dan ancaman yang mengintai di balik bayang-bayang—semuanya bercampur aduk dalam benaknya. Arga merasa sendirian, terjebak dalam pergulatan batin yang berat, dikelilingi oleh orang-orang yang mungkin peduli, namun tidak sepenuhnya memahami apa yang sedang ia alami. Ia harus menghadapi semuanya sendiri, dengan bayangan Hendro yang terus menghantuinya. Sore itu, kedatangan Rossa yang seharusnya membawa kenyamanan, justru menjadi pengingat akan betapa rapuh dan sendiriannya ia sebenarnya.
“Arga! Kamu melamun apa sih? Ada apa?” Suara Rossa memecah lamunan Arga. Ia tersentak, jantungnya berdebar kencang. Sosok di ujung sana, yang tadi masih terlihat samar di balik rimbun pohon mangga, kini telah lenyap. Hendro. Pasti Hendro.
Arga berusaha bersikap biasa saja. “Nggak papa, Rossa. Cuma kepikiran deadline proyek baru aja.” Ia menggaruk kepalanya, pura-pura sibuk memeriksa ponselnya. Namun, matanya tak lepas dari jalanan, waspada akan kemungkinan kemunculan Hendro lagi. Apa maksudnya mengikuti Rossa? Apakah ini hanya kebetulan? Atau ada rencana jahat lainnya? Pikiran Arga kalut. Hendro tak pernah segan-segan menggunakan kekerasan, dan Arga masih merasakan nyeri samar di bagian perut nya, bekas tinju dan tendangan pria itu. Rossa tidak tahu tentang itu.
“Kamu nggak papa, kan, Ga? Kelihatan pucat banget. Apa kata dokter, setelah operasi?” Rossa menatap Arga dengan khawatir. Sentuhan lembut dalam suaranya membuat Arga merasa sedikit lega. Ia bersyukur Rossa begitu perhatian.
Arga tersenyum lemah. “Aku sudah jauh lebih baik, kok. Cuma masih agak lemas saja.” Ia mengalihkan pembicaraan, “Gimana keadaan kantor selama aku nggak ada? Proyek Pak Wijaya gimana? Ada kendala apa nggak?”
Rossa mengerutkan kening. “Proyek Pak Wijaya lancar kok. Tapi, beberapa klien agak protes karena kamu nggak ada. Mereka bilang kamu yang paling bisa handle masalah mereka.” Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, “Oh iya, ada satu hal lagi. Pak Hendro beberapa kali datang menemui Dita, menanyakan keberadaanmu.”
Arga menegang. Dugaannya benar. Hendro memang sengaja mengikutinya dan juga mencari dirinya. “Dia ngomong apa?” tanya Arga, suaranya sedikit lebih keras dari biasanya.
“Nggak banyak. Cuma bilang ada urusan penting, dan ku dengar minta kamu menghubunginya. Em ... tapi, pak Hendro kerap kali mengganggu Dita, ya? Bahkan aku pernah denger, kalau Dita menolak di dekati ... pasti menyebut nama kamu, Arga.” Rossa menjawab. “Aku kurang suka sebenarnya sama—”
Arga mengangguk sebelum Rossa melanjutkan, Arga memberi kode untuk tidak membahasnya lagi, Arga khawatir Hendro menguping di luar.
pikirannya berputar cepat. Ia harus berhati-hati. Hendro pasti punya agenda terselubung. Dan kali ini, Rossa tidak boleh terlibat. Ia harus melindungi Rossa, sekaligus mencari tahu apa mau Hendro.
Di tengah obrolan, suara Mobil milik keluarga Arga memasuki halaman rumah. ayah Arga, dan ibunya, terlihat sedikit lelah setelah menghadiri acara di restoran milik Arman, kakak Arga. Mereka masuk ke ruang tamu, di mana Arga dan Rossa masih duduk berbincang. Mengetahui itu' Rossa segera berdiri menyalami keduanya, lanjut Ayah Arga tanpa basa-basi, duduk di sofa berdampingan dengan Arga, sementara ibu Arga bertanya pada Arga dengan suaranya yang lembut, "siapa ini, Ga? Cantik sekali ...," tanyanya sembari melempar senyum.