Sore hari.
Langit mulai memerah, pertanda hari akan malam. Namun, di dalam gedung tinggi itu, Arga tidak merasa tenang sedikit pun.
Sejak Rossa meninggalkan ruangannya, pikirannya terus dihantui oleh panggilan misterius pagi tadi. Suara itu… dingin, tegas, dan seperti mengenalnya dengan baik.
Ia membuka laptopnya, menatap layar dengan tatapan kosong. Laporan-laporan keuangan, proyek, rapat—semuanya mendadak terasa jauh dari pikirannya. Yang terngiang hanya satu kalimat:
> “Kamu tidak bisa menyembunyikan kebenaran selamanya.”
Arga menghela napas panjang. Tangannya gemetar sedikit saat mencoba meneguk air mineral di atas meja. Ia tidak tahu “kebenaran” yang dimaksud siapa pun di balik panggilan itu. Namun sesuatu dalam dirinya berkata, masa lalunya mungkin sudah mulai memburunya.
Pintu ruangannya tiba-tiba diketuk.
Tok… tok… tok.
“Masuk,” katanya dengan nada datar.
Seorang pria berpakaian hitam rapi masuk—Rico, kepala keamanan pribadinya.
“Pak, kami sudah coba lacak nomor yang menghubungi Anda pagi tadi,” katanya serius. “Nomornya tidak terdaftar di jaringan lokal. Setelah panggilan itu, nomor langsung tidak aktif. Tapi…”
“Tapi apa, Rico?” Arga menatapnya tajam.
Rico menelan ludah. “Kami menemukan sesuatu di sistem CCTV gedung.”
Arga berdiri. “Tunjukkan.”
Rico menyalakan tablet di tangannya dan memutar rekaman. Dalam video itu, terlihat seseorang berdiri di seberang jalan dari gedung kantor Arga. Orang itu mengenakan jaket hitam dan topi, wajahnya nyaris tak terlihat. Tapi yang membuat Arga menegang adalah—orang itu menatap langsung ke arah jendela ruangannya.
Arga bergumam pelan, “Dia… tahu di mana aku berada.”
Rico mengangguk. “Dan ini yang lebih aneh, Pak. Orang itu berdiri di sana selama hampir dua jam. Tidak bergerak. Tidak melakukan apa pun. Hanya… menatap ke arah sini.”
Arga menatap layar itu lama. Ada perasaan aneh di dadanya antara takut dan marah.
“Pastikan gedung ini aman, Rico. Tidak ada orang asing yang bisa masuk tanpa izin. Dan… cari tahu siapa orang itu. Gunakan semua sumber yang kita punya.”
“Baik, Pak.” Rico menunduk dan keluar dari ruangan.
Begitu pintu tertutup, Arga kembali menatap jendela besar di ruangannya. Sekilas, ia merasa seperti melihat bayangan seseorang berdiri di seberang jalan. Ia mengedipkan mata, tapi sosok itu sudah hilang.
***
Malam hari.
Rossa baru saja tiba di apartemennya. Ia menyalakan lampu dan meletakkan tas di sofa. Hari itu terasa panjang baginya, terutama setelah kejadian “usil” Arga di siang hari tadi.
Namun saat hendak mengganti pakaian, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.
Nomor tidak dikenal.
> “Kamu seharusnya menjauh dari Arga.”
Rossa tertegun. Ia menatap layar itu cukup lama, mencoba memahami isi pesan tersebut.
> “Siapa ini?” tulisnya membalas.
Tidak ada balasan.
Beberapa detik kemudian, pesan baru muncul lagi.
> “Kamu tidak tahu siapa dia sebenarnya.”
Rossa menelan ludah. Dadanya mulai terasa sesak. Ia ingin mengabaikan pesan itu, tapi rasa penasaran lebih kuat. Ia mencoba menelepon nomor itu—tidak bisa dihubungi.