Hari yang melelahkan sekali dengan tubuh yang lemas. Kupakai ransel dipundakku kiri dengan santai. Saat aku berada di depan pintu yang berwarna coklat muda, aku mengatakan, "AKU PULANG.”
Tidak ada jawaban di dalam rumah. Dan aku mulai naik satu per satu anak tangga menuju kamarku. Langkah kakiku terasa berat saat ku angkatkan. Hari ini tidak seperti biasanya, apakah aku kecapean saat olahraga tadi. Sepertinya begitu, masa bisa gak bisa harus senam lantai rolling depan. Apalagi tulang belakang rasanya mau patah. Tanpa kusadari langkah kakiku telah sampai di depan pintu.
Aku membuka pintu kamar, aku langsung dIbuat tercengang semua barang–barangku berantakan di lantai. Melihat sekeliling berserakan tanpa ada yang rapi. "oh my god!" aku langsung lari cepat ke lemariku, melihat lemari warna coklat terbuka lebar, lemari ini adalah tempat penyimpanan foto, album, lightstick.
Aku mencari–cari tidak barangku. Namun, tidak ada apapun di dalam. Aku mulai menangis, merasa kehilangan barang berharga. Aku mencari lagi siapa tahu aku salah lihat, memang nyata kalau dia hilang di dalam lemari. Siapa yang ambil? apa mungkin Ibu yang ambil? kenapa dia ambil? apa karena nilaiku? oh my god!.
“Cari apa!” kata Ibu yang mengagetkanku secara tiba–tiba.
“Ibu tahu barangku yang ada disini?” tanyaku penuh penasaran, aku berharap semoga Ibu tidak mengambilnya.
“Sudah jadi abu!” katanya tanpa ada rasa sedikit memperbaiki kata-katanya padaku, dengan teganya bilang seperti itu.
“Maksud Ibu, Ibu bakar? Kenapa Bu kenapa?!” aku pun mulai emosi, tahukah kalian aku menabung dengan uangku sendiri hingga aku gak bisa makan enak demi mendapatkan sebuah album mahal, dan orang lain seenaknya membakar album yang kubeli, maksudku Ibuku.
“Ibu yang kerja tiap hari dari pagi sampai malam, hujan gak ngerti hujan, panas gak ngerti panas, bisa-bisanya itu sekolah kamu anggap bermain! kamu anggap Ibu kamu ini apa?!” katanya yang penuh emosi, di atas kepalanya ada asap yang sangat tebal atau seperti badai petir akan segera mendatangiku.
Ibuku mulai mengomel, dan mulai membandingkanku dengan Jenny. Itu membuatku marah, sangat amat marah, tapi kutahan emosiku, aku gak mau emosi dibalas dengan emosi.
Ibu berjalan melewatiku, Ibu mengambil koper di atas lemari berwarna biru, mengambil beberapa pakaian dimasukkan ke koper. Mau diapakan pakaianku, bisa gak sih bicara baik-baik. Tapi, sepertinya tidak bisa, Ibuku sudah kemakan amarahnya.
“Hari ini Ibu antar kamu ke rumah kakakmu!” bentak Ibu. Aku mulai bertanya–tanya kenapa aku dibawa kesana, apa karena aku membuat kesalahan itu sehingga membuat dia marah?. Ekspresinya semakin tajam kepadaku dan aku mulai takut.
Dan aku langsung “nggak aku gak mau kesana!”
“Apa katamu, gak mau? Mau gak mau kamu harus dirumah kakak kamu! Aku sudah gak sanggup mendidikmu!” pungkasnya. Ibu langsung memegang erat tanganku sambil membawa koper, aku merasa sakit. Aku tetap mengelak dan hampir saja aku jatuh. Tapi, aku bisa menahan tubuhku. Ibuku tetap menyeretku sampai turun anak tangga membawaku keluar rumah menuju parkiran.
Ibu memasukkanku ke dalam mobil dan akupun langsung keluar dari pintu menuju ke rumah. Sayangnya pintu rumah sudah dikunci, sehingga begitu susah aku masuk ke rumah. Dan akhirnya aku dan Ibu kejar–kejaran berkeliling mobil.
Jika aku jadi mobilnya mungkin dia akan ketawa “Anak sama Ibu bisa–bisanya main kejar–kejaran,” mungkin itu yang akan dikatakannya.
Ibu sudah lelah mengejarku. Kemudian, Ibu perlahan jatuh ke lantai, dan aku mulai khawatir dengan keadaan Ibu. Celaka kalau Ibu sampai kenapa-kenapa.
“Ibu Ibu, Ibu gak apa–apa, bu? Ibu maafin aku,” aku berkata sambil menangis aku gak mau kehilangan Ibu satu–satunya untukku. Dan Ibu langsung memegang tanganku dengan erat, ternyata Ibu pura–pura.
Aduh bodohnya aku yang begitu lengah, tangannya begitu kuat membuatku gak bisa lepas dari genggamannya. Ibu menyeretku masuk ke mobil, mendorongku sampai aku susah bangun. Ibu dengan cepat masuk ke bagian sopir, menyalakan mobil dan pintu mobil langsung terkunci.
Aku berkali-kali membuka pintu mobil sudah tidak bisa, ingin ku pecahkan kaca ini. Bagaimana ini aku gak mau ke rumahnya nenek sihir itu.
Mobil pun bergerak meninggalkan tempat ternyamanku, yang hanya bisa kulihat di dalam mobil, dan aku belum berpamitan dengan kandangku “Maafin aku, aku harus pergi,” gumamku dalam hati. Hari tersialku, kenapa harus dikirim kesana.