Sore hari sekitar pukul tiga, aku turun tangga membawa handuk merah jambu yang disampirkan dipundak. Warna handukku ganti, karena aku gak suka dengan warna yang dulu. Handukku ini beli hasil menyisihkan uang saku, apalagi uang sakunya dikasih pas-pasan, mana bisa aku nabung lagi. ini pasti ibu yang bilang ke Jenny, biar aku gak bisa beli album lagi. Aku melihat Jenny sedang mengepel lantai. Tumben ngepel, kepentok apa tuh kepalanya kok sudah sadar dianya?. Bagus deh kalau si Jenny sudah sadar.
“Hei stop! Jangan diinjak!” suara Jenny yang mengagetkanku, suaranya keras mungkin tetangga bisa dengar.
Aku mulai berpikir kalau ingin meledek meledek dia dengan kakiku yang ku ambang di atas lantai. Dari raut wajah Jenny dia seperti akan emosi.
“Aaahhh… aku injak,” kataku menjahili Jenny. Emosi Jenny sudah meledak-ledak. Yang sabar Jen jadi mbak harus gitu, kkkk.
"Hei!" jantungku hampir lepas. "Sudah kubilang jangan diinjak! lo gak denger apa yang gue omong!" kata Jenny sambil matanya melotot ke arahku, dengan satu tangan ditekuk. "Lo tau gak! gue udah capek ngepel ini rumah!" tambahnya.
"Siapa suruh beli rumah besar," gumamku.
“Kapan aku mandi? Kalau gini terus,” kataku mengeluh, Badanku sudah bau masa aku harus nunggu lantainya kering.
“Jika lo injak, gue bunuh lo!” kata sadis Jenny keluar. Emangnya gue takut Jen, sorry hatiku sekuat baja.
Karena gue gak mau nunggu jadi aku jalan diatas lantai yang basah. Jenny sudah teriak-teriak marah seperti letusan gunung berapi. Aku memberikan ledekan, kujulurkan lidahku padanya. Amarahnya mulai memuncak 180 derajat.
Aku yang enak-enak jalan. Seketika aku lupa sebentar kalau ini lantai masih basah, dan akhirnya aku kepleset jatuh ke lantai, pantatku terasa sakit. Dan Jenny dengan puas menertawakanku. Aku sudah kena karma dari Jenny.
Karma terlalu dekat untukku. Aku perlahan bangun dan berjalan hati-hati menuju ke kamar mandi, Jenny masih tertawa tidak ada habisnya. Ku tutup keras pintu kamar mandi.
BBBRRRAAAKKK!
"Kenapa aku jatuh segala sih!" aku kesal sendiri di dalam kamar mandi. Handuk yang aku sampirkan malah jatuh, bikin aku kesalku bertambah.
***
Aku sedang tiduran di sofa putih, menonton tv yang tentang animals world, aku melihat seekor kucing yang lucu di tv mengingatkanku pada Andrian. Kaki ditumpangkan ke bahu Jenny. Sepertinya dia marah But I don’t Care, salah siapa dia duduk disitu. “Loh! Lihat apaan sih, lihat yang penting. Ini apaan gak ada pentingnya!” kata Jenny kesal.
Aku tertawa terbahak-bahak seperti orang gila padahal gak ada yang lucu. “Lucu banget mukanya, tuh monyet sama persis dengan wajahmu,” ejek ku terhadapnya.
Layar tv berganti hewan. Dia pun membalas ejekkanku.