BELLA DAN JENNY

Ira A. Margireta
Chapter #10

10. Khayalan tinggi

Disebuah café terletak di pinggir jalan, sinar senja menyinari. Beberapa orang datang menikmati kopi kesukaannya. Disini aku merasakan apa yang dinamakan rasa nyaman, ternyata tempat sederhana dengan angin yang bebas ada dimana-mana. Suara bising kendaraan yang lewat. Gelak tawa para peminum kopi. Membuatku menemukan makna kembali. Bahwa semua orang disini masih dapat tertawa bebas hanya dengan bertemu kawan dan minum kopi. 

Kenapa aku hanya pusing terjebak pada diri sendiri. Kopi yang sama bisa jadi citarasa kopi lain di tangan yang beda. Sama seperti kasih sayang jika di tangan yang beda maka beda pula kisahnya. Kopi yang sama, rasa yang sama, belum tentu aku bisa menggapainya. Apa dia tahu kalu aku masih menunggunya disini?

Memandangi orang yang tak jauh dari sorot mataku, melihat mereka yang bisa basa-basi, ketawa ketiwi sambil memegang tangan kekasihnya. Aku juga gak tahu kapan itu terjadi padaku.

Memakai baju kaos pink dan dipadukan dengan sandatan levis celana, rambut lurus coklat dengan wajah oval duduk didepanku, yang sedang menikmati kopi dan bermain dengan handphonenya. Dan yang memakai baju hitam, luaran pakai jaket. Aku, dan mereka sama-sama memakai sepatu yang sama, Siska yang beli. Aku bersyukur memiliki mereka, walau terkadang mereka usil.

“Gak kerasa mau akhir tahun... apa permintaanmu?” Mia menanyakan. 

“Permintaanku sama, tapi pastinya tak pernah dikabulkan,” kataku mengeluh. 

“Lihat ini Siska menonton konser, aku iri,” kata Mia dia juga iri melihat Siska menonton konser sendirian. Seharusnya jika dia sahabat baik, dia membelikanku dan Mia tiket, dan pergi bersama, meskipun bukan bagian depan bagian jauh gak apa-apa, yang penting bisa ku jadikan story.

Suara music cafe tak mengubah mood-ku menjadi bagus, malah menjadi sedih dan rasa benci disini, diluar yang tadinya cerah sekarang menjadi sedikit gelap. Awan yang tadinya cerah sekarang menjadi abu-abu, Hujan mulai turun setetes, membuat orang berlari dan berteduh di luar cafe.

Dipikiranku akankah sebuah keajaiban akan datang? kapan? Aku tahu aku gak boleh seperti ini, tapi bagaimana lagi aku tidak bisa menahannya. Benar kata orang hujan turun akan merindukan seseorang. Tapi orang itu tidak merasakan rindu-ku yang kutitipkan dengan rintikan hujan ini. Enak ya mereka yang punya wajah bagus pasti banyak cowok yang ngantri. Dan mereka punya wajah cantik, body goals, pasti handphone nya seperti asrama putra. Sedangkan aku, punya kontak seperti asrama putri. 

DDDRRRTTT!!!!

Suara handphoneku yang bergetar di atas meja, aku sedang menikmati melamunku dengan menghalu, aku mengabaikan handphone ku yang berdering.

“Heh, teleponmu berdering... Bella! Lo lamun apa sih, tuh handphone lo!” kata Mia yang mengganggu haluku. Siapa sih yang ganggu gue.

Setelah dicek ternyata nenek sihir yang sedang mengirimiku pesan. Aku gak peduli, aku masih ingin tetap disini, toh di rumah malah menjadi babu.

“Lo dimana!... lo gak pulang!... pulang cepat!... Bella!... kalo lo gak pulang pintu rumah gue kunci!... Bella! lo dimana!... nih anak bener-bener ya… heh Bella!” pesan Jenny yang masuk di handphone-ku.

Aku sejenak menghela nafas. Ternyata dia tidak bisa membiarkan diriku istirahat sejenak.


***


Malam yang gelap, halaman rumah diterangi sorotan lampu tiang. Kubuka pintu perlahan dan masuk secara hati-hati. Ku Tutup kembali pintu secara pelan-pelan sehingga tidak menimbulkan suara. Aku jalan hati-hati agar gak ketahuan sama si nenek sihir.

“Lo dari mana!” aku tersentak kaget, Jenny mengagetkanku diatas, dia menatapku, matanya terbuka lebar. “Lo gak lihat ini jam berapa!” ya kalau lo khawatir sama gue bilang aja jen, gak usah ngegas. “Besok gak ada uang jajan ditambah gak ada antar jemput! Berangkat kesana naik bus!” kata Jenny dingin. Oh my god lo pikir gue apaan, padahal pulang gue gak malem amat jam delapan baru pulang, malah jam delapan kurang aku datang.

“Ya gak bisa gitu dong! Kan aku pulangnya gak kemaleman!” gue gak terima diginiin, seperti aku dipojokkan. Lah dia pulang malam gak ada tuh yang ngomel.

“Ya meskipun gitu perempuan gak boleh pulang malam, ngerti!”

"Kamu.. khawatir denganku?" kuberikan senyum candaan untuknya.

"Apa? aku? kapan? jangan harap aku khawatir sama lo!" dia mengelak.

Lihat selengkapnya