Hari ini aku, Jenny dan Ibu mengunjungi Ayah, sudah lama aku tak mengunjunginya. Jenny mengemudi mobilnya yang begitu fokus ke depan, mobil bergerak santai. Kubuka jendela, musim gugur telah tiba. Aku mendongak keluar merasakan angin berhembus di wajahku. Banyak dedaunan berserakan di jalan. Tempat yang sangat aku suka tidak ada suara kebisingan kota memasuki daerah ini. Kukeluarkan tanganku untuk merasakan angin, dan tiba-tiba daun jati jatuh di tanganku dalam sekejap hilang terkena angin. Aku menyesal tak menyadarinya. Daunnya sudah pergi jauh.
***
Akhirnya sampai dirumah Ayah, Ayah terlihat senang dengan kedatanganku. Pastinya, karena aku anak yang disayang Ayah.
"Ayah aku datang," kataku sambil berlari sampai ke tempat Ayah. "Ayah merindukanku kan?"
"Apanya, Ayah sangat merindukanku, bukan lo!" kata Jenny sambil menonyorkan dahiku, poniku berantakan gara-gara Jenny.
"Ayah, hari ini aku sudah berstatus mahasiswi, aku sudah menggapai mimpiku tolong doakan semoga aku bisa mewujudkannya," kataku sambil menyatukan kedua jari jemariku.
"Aku sangat meminta maaf Ayah... seharusnya tidak ku bawa dia kesini.. memalukan," katanya sambil menatapku.
"Memalukan katamu! lo tuh yang memalukan! dasar wanita es, lihat Ayah, dia kemarin bikin masalah besar! coba deh Ayah bayangin..." kataku mengadu ke Ayah tapi perkataanku terputus, gara -gara Ibu datang.
"Kalian sedang apa? bukannya kalian berjanji tidak melakukannya lagi," kata iIu sambil menghampiri kami, coba kalau enggak pastinya didepan Ayah kami akan bertengkar.
"Kakak duluan!" bentakku.
"Lah! kok nyalain aku! kamu yang duluan!" kata Jenny yang gak mau ngalah.
"Kakak yang duluan bikin masalah!" kataku yang gak mau mengalah.
"Lo tuh yang bikin, main nuduh aja!"
"Hentikan!" bentak Ibu.
Aku dan Jenny berhenti berdebat.
"Cepat beri doa untuk Ayahmu," kata Ibu.
"Iya," aku dan Jenny jawab bersamaan. kami memberikan doa untuk Ayahku tercinta. "Semoga Ayah selalu bahagia disana," gumamku dalam hati.
Selesai berdoa kami duduk di depan rumah abu. kami duduk dibawah pohon yang sejuk.
"Sudah lama kita gak seperti ini..." nada bicara ibu rendah seperti tak kuasa menahan perkataannya. "Ibu hanya punya dua putri... Ibu minta maaf jika selama ini Ibu selalu membuat kalian kesal, terutama kamu," katanya sambil mencubit hidungku.
"Aaaaaa!!! sakit!" kataku sambil menyentuh hidungku, mungkin hidungku sudah merah.
"Saat kali pertama Ibu melahirkan kamu, Ibu sangat senang sekali... setelah sekian lama, Ibu menunggu kamu sampai 5 tahun, akhirnya kamu datang juga... lalu 8 tahun kemudian datanglah putri cantik yang sangat malas..." kata Ibu sambil mengarah kepadaku, aku langsung melengos.
"Waktu kamu sudah dewasa, sudah bekerja, Ibu semakin khawatir, jika nanti Bella juga akan meninggalkan Ibu..." tambahnya dengan raut wajah sedih.
"Kan aku sudah bilang, tinggal sama aku, rumahnya biar dijual atau dikontrak," kata Jenny.
"Ibu berpikir seperti itu. Tapi, itu kan rumah Ayah sama Ibu, Ibu gak tega menjualnya" kata Ibu.
"Buk..." kataku yang tiba-tiba masuk dalam pembicaraan.
"Kenapa?" jawabnya.
"Aku sama kakak, nakal siapa?" tanyaku penasaran.
Ibu melihat kesana kemari sambil menahan senyum.
"Kamu sama kakakmu sama-sama gak bisa diam... Ingat gak waktu kalian bermain di ayunan, kalian sampai gak mau ngalah satu sama lain, dan akhirnya Ayah sama Ibu bikin ayunan lagi... terus kalian sering banget berantem, gak mau ngalah juga... dan pada waktu itu, ada seorang laki-laki yang merebut mainannya Bella, Bella nangis..."
"Ah masa? aku gak cengeng," kataku yang gak percaya, masa aku dulu nangis.
"Dulu kamu cengeng banget, dikit-dikit nangis, dikit-dikit ngadu ke Ayah, yang ini yang itu... sampai-sampai aku berfikir kalau Ayah itu pilih kasih," kata Jenny sambil makan keripik.
"Terus laki-laki itu gimana?" kataku penasaran.
"Dia malah memukulmu, kamu gak ingat?" tanya ibu.
Aku menggelengkan kepala.
"Kakakmu Jenny yang memberi balasan, hingga membuat anak laki-laki itu menangis," terang Ibu.