Setelah syuting selesai, aku menyuruh manajerku untuk cepat-cepat keluar dari tempat ini. Takutnya Leo datang tiba-tiba.
Aku masuk duluan ke dalam mobil tanpa ada rasa curiga. Mobil dinyalakan. Awalnya, aku kira dia benar manajerku. Tapi, pada saat itu...
Mobil berhenti di depan hotel yang pernah aku tempati dulu. Aku terkejut sekaligus bingung.
"Kok kita kesini? Kita harusnya di golden!" bentakku ke manajer.
Dia terlihat berbeda. Dia turun dan membukakan pintu. Saat dia menatapku.
"Ayo turun, sudah sampai," kata Leo seraya mengulurkan tangan.
"Kamu!" ucapku kaget. "Kamu yang lakuin ini semua! Kembalikan aku ke manajerku sekarang! Kalau enggak aku bilang ke polisi kalau kamu menculikku! Antar aku kembali!" bentakku keras.
"Coba aja kalau bisa!" Leo nantang.
"Lo mau apa sih! Lo gak capek ngikutin gue terus! asal lo tau ya! Gue udah punya pacar!! Jadi lo gak usah ngrusak hubungan orang!"
"Emang lo cinta sama dia?" tanya Leo.
"Kenapa lo tanya kayak gitu? Kalau gak cinta kenapa gue nerima dia, lebih baik lo tuh memperbaiki diri lo sendiri! Dan jangan ganggu kehidupan orang!"
"Gue sama dia cuma nikah diatas kertas doang Bell, gue gak cinta sama dia, gue dipaksa sama Papa nikah sama dia, gue cinta sama Lo! Gue juga belum pernah berhubungan intim sama dia demi Lo!" kok dianya malah curhat sih. Malah aku menjadi pelakunya, semua kesalahan seperti dilemparkan ke aku.
"Apa hubungannya sama Gue?!"
"Bell! gue serius! gue gak bohong!"
"Gue juga gak bohong. Setelah pulang dari negeri ini, gue nikah sama dia! Jadi lo lebih baik lupain gue!"
"Gue gak pernah lupain lo! Sampai mati pun! Gue tetep ngejar lo!"
"Terserah! Gue gak peduli!"
Malam itu aku gak turun dari mobil. Meskipun dia memaksa, aku bersikukuh tetap berada dalam mobil.
***
Pagi hari aku sudah tiba di bandara. Tempat dimana aku lahir. Diseberang sana aku melihat Enggar yang mencariku. Aku terdiam senyum melihat dia panik. Bentar lagi dia juga telfon.
DDDRRRTTT!!! DDDRRRTTT!!! DDDRRRTTT!!!
Tuh kan.
"Hallo," ucapku duluan.
"Kamu dimana? aku tidak melihatmu disini, kamu sudah pulang?" tanya Enggar khawatir.
"Aku tepat di depan matamu," jawabku.
Akhirnya empat mata saling bertemu. Dia berlari menghampiriku, memeluk erat. Melepas kerinduannya.
"Aku kira aku gak bisa jemput kamu pulang," katanya senang.
"Kan kamu udah lihat aku disini," jawabku.
"Aku takut, kalau kamu dibawa orang lain. aku belum bisa merelakanmu Bell," tatapan mata yang penuh dengan harapan padaku.
"Aku lapar, kamu yang traktir," mengubah topik pembicaraan.
"Ok!" ucapnya.
***
Aku dan Enggar memesan makanan. Setelah itu kami befoto bersama, dan saling bergantian.
"Aduh!" ucap Enggar sembari memegang perutnya.
"Kenapa?!" tanyaku panik.
"Aku ke toilet dulu, kamu tunggu disini," kata Enggar yang gak sanggup menahan.
"Lagi," kataku, sudah terbiasa seperti ini. Mengabaikan sekitar, kembali melihat handphone.
"Sendirian aja," suara seseorang yang familiar.
Aku terkejut dengan kedatangannya yang sudah duduk di hadapanku.
"Kenapa kau disini? apa kau gak mendengar apa yang kukatakan?" aku benci bertemu dengannya, bisa gak sih membiarkan aku bernafas lega.
"Pengen aja disini," katanya membuatku jengkel.