Hari-hari terasa lebih berat dari biasanya. Bagi Naya, pagi bukan lagi saat yang menjanjikan harapan baru, melainkan pengingat bahwa ia harus kembali berjuang tanpa jaminan hasil. Ekonomi keluarganya semakin terpuruk. Bapaknya kini menganggur sejak musim panen usai. Ibunya yang selama ini hanya di rumah, mencoba membantu dengan bekerja membuat roti di dapur milik tetangga. Namun, penghasilan itu pun hanya cukup untuk membeli beras dan lauk seadanya.
Adik Naya kini duduk di bangku kelas dua SMA. Sekolah mengumumkan rencana study tour ke Bali, dan seperti bom waktu, pengumuman itu menambah beban pikiran yang sudah nyaris tumpah. Biaya yang harus dikeluarkan tidak sedikit. Sedangkan Naya sendiri hanya bekerja sebagai penjaga toko dengan gaji sebulan satu juta—jumlah yang bahkan tidak cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.
Impian masa lalunya perlahan ia kubur dalam-dalam. Bekerja di bidang yang ia sukai tak lagi jadi tujuan. Naya banting stir, mulai melamar pekerjaan apa saja yang setidaknya bisa memberinya upah layak. Dia membidik kota-kota dengan UMR yang dia anggap cukup besar—Semarang, Jakarta, Surabaya, hingga Tangerang. Naya tak asal memilih kota itu, dia memperhitungkan biaya hidup sebelum memutuskan. Ia mendaftar sebagai admin pabrik, Staf Outsourcing, Customer Service, bahkan Quality Control di perusahaan-perusahaan manufaktur.
Namun semua tak semulus harapannya. Berkali-kali Naya hanya mampu melangkah sampai tahap interview user. Harapan yang sempat tumbuh perlahan layu ketika ia menyadari bahwa pengalaman freelance selama kuliah tidak cukup kuat untuk bersaing. Jurusannya pun dianggap tidak relevan. Ia mulai meragukan dirinya sendiri.
Malam itu, Naya duduk di atas dipan bambu di halaman rumah. Langit tampak mendung, tapi tak juga menurunkan hujan. Ia menatap layar ponselnya—email terbaru dari perusahaan yang ia lamar. Ditolak. Lagi.
Tangannya gemetar saat menaruh ponsel di sampingnya. Nafasnya berat, dada sesak. Air matanya mulai mengalir pelan, tanpa suara. Ia lelah—lelah berusaha, lelah berharap, dan lelah kecewa.
Beberapa menit kemudian, layar ponselnya menyala. Reza menelpon.
“Hallo…” suara Reza di seberang terdengar pelan.
Naya berusaha mengatur napasnya. “Iya, Za.”
“Kamu kenapa? Suara kamu… kayak habis nangis.”
Naya tidak langsung menjawab. Ia menggigit bibirnya, lalu berkata dengan suara serak, “Aku ditolak lagi. Ini udah kelima kalinya minggu ini.”
“Ya Allah, Nay…” Reza terdengar benar-benar ikut sedih. “Aku ikut nyesek dengarnya. Kamu udah usaha sekuat itu, dan... dunia kayak nggak kasih celah.”
“Emang nggak ada celah, Za,” jawab Naya lirih. “Aku bukan siapa-siapa. Pengalaman freelance cuma dihitung angin. Jurusan kuliahku nggak nyambung. Semua tempat yang aku lamar cuma lihat CV, bukan perjuanganku.”
Reza diam beberapa detik. “Nay, dengar ya. Aku tahu kamu capek. Tapi, aku lihat kamu itu luar biasa. Kamu nggak pernah berhenti nyoba. Kamu tetep jalan walau semua orang mungkin udah nyerah di posisimu.”
“Yang luar biasa itu orang-orang yang berhasil, Za. Bukan orang yang jatuh terus-terusan kayak aku,” kata Naya, air matanya kembali mengalir.