Toko elektronik tempat Naya bekerja terasa lengang siang itu. Hanya ada suara kipas angin yang menderu di sudut ruangan, beradu dengan bunyi detik dari jam dinding. Sudah hampir dua bulan Naya bekerja di tempat milik Kak Lila itu. Awalnya ramai, apalagi saat pemerintah menggencarkan program migrasi ke TV digital. Tapi sekarang, satu per satu pelanggan mulai jarang muncul.
Naya duduk di belakang meja kasir, matanya menatap layar ponsel yang penuh dengan notifikasi email penolakan kerja. Ia menarik napas pelan. Lagi.
Suara pintu terbuka membuatnya segera berdiri.
“Selamat siang, Pak. Mau cari apa, ya?” sapanya ramah.
Seorang pria paruh baya melangkah masuk, matanya langsung menatap rak televisi di sisi kiri toko.
“TV digital ada, Mbak? Yang 24 inch-an gitu,” tanyanya sambil menyeka peluh di kening.
“Ada, Pak. Ini merek A sama merek B. Yang A Rp1.650.000, yang B Rp1.750.000. Tapi kalau Bapak mau yang ada fitur smart-nya juga ada, tapi sedikit lebih mahal,” jelas Naya sembari mendekat dan menunjuk produk di rak.
Pria itu mengangguk-angguk. “Garansi gimana?”
“Garansi resmi pabrik, Pak. Setahun, bisa langsung klaim ke service center yang terdekat.”
Percakapan berlangsung singkat. Si bapak itu akhirnya hanya mencatat harga dan bilang akan pikir-pikir dulu. Naya mengangguk maklum. Begitulah sekarang. Banyak yang datang hanya untuk tanya-tanya, tapi jarang yang benar-benar membeli.
Saat pria itu keluar, Naya kembali duduk dan menghela napas. Matanya melirik Kak Lila yang baru saja masuk dari gudang belakang sambil membawa tumpukan kardus kosong.
“Masih belum ada yang beli hari ini?” tanya Kak Lila, meletakkan kardus sambil mengusap keringat.
Naya menggeleng pelan. “Baru nanya-nanya aja, Kak.”
Kak Lila duduk di kursi sebelahnya. Wajahnya tampak lebih tirus dari biasanya, matanya agak sembap—barangkali habis begadang lagi. Sejak usaha warung makannya tutup, ia kembali ke toko dan ikut menjaga setiap hari.
“Gimana lamaran kerjamu, Nay?” tanyanya lembut tapi tanpa basa-basi.
Naya tersenyum kecut. “Belum ada kemajuan, Kak. Masih sering ditolak. Paling mentok di interview user, itu pun kadang nggak ada kabar lagi.”
Kak Lila mengangguk, lalu bersandar. “Zaman sekarang, kerja itu susah, Nay. Apalagi kalau nunggu yang sesuai passion. Dunia nggak nungguin kita untuk tetap idealis.”
Naya terdiam. Ia tahu maksud Kak Lila bukan untuk menjatuhkannya, tapi tetap saja hatinya sedikit nyeri.
“Aku ngerti kamu punya impian,” lanjut Kak Lila, “tapi hidup nggak selamanya bisa kita arahkan sesuai mau kita. Kadang kita harus bertahan dulu di tempat yang nggak kita suka, demi hal-hal yang lebih penting.”
“Kayak keluarga?” gumam Naya.