Pagi itu langit mendung, seperti mencerminkan isi hati Naya. Ia membuka ponselnya, sekadar ingin mengecek pengumuman yang selama ini ditunggu-tunggu. Tapi justru yang ia temukan adalah berita yang membuat dadanya sesak:
Pemerintah Resmi Batalkan Penerimaan CPNS Tahun Ini.
Jari-jarinya membeku. Ia membaca ulang kalimat itu, berharap ada kesalahan. Tapi tidak. Semua portal berita menulis hal yang sama. Tahun ini, tak akan ada rekrutmen CPNS. Satu-satunya harapan yang selama ini menjadi tameng dari pertanyaan-pertanyaan keluarga… lenyap begitu saja.
“Nduk, ayo sarapan dulu. Katanya ada informasi soal CPNS ya?” panggil ibunya dari luar kamar.
Naya menelan ludah. Ia tahu, pagi ini tidak akan mudah.
Di meja makan, ibunya menyajikan nasi goreng sederhana. Liya sudah berangkat sekolah. Rumah terasa tenang, tapi suasananya tidak.
“Kamu udah cek? CPNS-nya mulai kapan?” tanya ibunya dengan semangat yang membuat hati Naya makin nyeri.
“Buk…” suara Naya serak. Ia menatap piring kosong di depannya. “Tahun ini… CPNS-nya nggak dibuka.”
Suasana tiba-tiba hening.
Ibunya menoleh, ekspresinya berubah pelan-pelan. “Nggak dibuka? Tapi tetangga bilang… anaknya udah siapin berkas.”
“Itu mungkin P3K, Buk. Kalau CPNS, pemerintah udah ngumumin. Resmi. Tahun ini nggak ada rekrutmen.”
Ibunya diam. Sendok di tangannya berhenti bergerak. “Ya Allah…” lirihnya, lebih kepada diri sendiri.
Naya menunduk, mencoba menahan air mata. “Naya juga kaget, Buk. Naya udah siapin berkas juga dari bulan lalu.”
Ibunya menghela napas panjang, menatap ke luar jendela. “Ibuk cuma pengin kamu punya masa depan, Nduk. Nggak terus-terusan kerja seadanya. CPNS itu satu-satunya jalan yang bisa bikin hidupmu terarah. Kalau bukan itu, kamu mau ngapain?”
Pertanyaan itu seperti tamparan.
Naya ingin menjawab, tapi ia tidak tahu jawabannya. Ia bahkan tak tahu harus mulai dari mana. Semua pintu terasa tertutup, dan kini cahaya dari satu-satunya jendela pun padam.
Setelah sarapan yang sunyi, Naya kembali ke kamar. Ia duduk di lantai, bersandar di ranjang. Pandangannya kosong menatap langit-langit kamar. Kertas-kertas berisi berkas lamaran kerja berserakan di meja. Di dinding masih tertempel foto wisuda dan secarik kertas bertuliskan “Kerja sesuai passion.”
Ia tersenyum pahit. Passion apa kalau hidup saja tidak memberi ruang untuk itu?
Hari-hari belakangan ini hanya berisi penolakan, toko yang sepi, dan rasa bersalah kepada keluarga. Sekarang, satu harapan besar itu ikut sirna. Ia merasa seperti tertinggal dalam dunia yang terus berputar. Semua orang terlihat tahu ke mana harus pergi, kecuali dia.
Naya kembali menjalani rutinitas di toko elektronik milik Kak Lila. Langkahnya terasa berat, bukan karena pekerjaannya, tapi karena hatinya belum benar-benar bangkit dari kenyataan pahit: CPNS tahun ini ditiadakan. Meski dalam hati kecil Naya dia tidak minat ikut CPNS, tapi itu harapan keluarga satu-satunya.
Hari itu toko sepi, hanya ada satu pelanggan tua yang sekadar bertanya-tanya tentang TV digital, tapi akhirnya hanya pamit tanpa membeli apa pun.
“TV yang ini bisa dapet siaran digital ya, Mbak?” tanya pria itu sambil menunjuk layar TV 32 inci.
Naya mengangguk, menjelaskan dengan senyum tipis, “Bisa, Pak. Sudah built-in set-top box, jadi tinggal colok antena dan scan siaran.”
Pria itu mengangguk-angguk, lalu menimang-nimang dompetnya yang sudah usang. “Lihat-lihat dulu ya, Mbak. Belum waktunya ganti, hehehe.”
Naya hanya tersenyum. “Iya, nggak apa-apa, Pak.”
Saat pria itu pergi, Naya kembali ke meja kasir. Kak Lila sibuk menyusun barang di rak sambil mengelap debu yang makin tebal.
“Naya,” panggilnya pelan.