Hujan turun sore itu, pelan tapi pasti. Langit tampak kelabu, seakan menyatu dengan perasaan Naya yang masih berantakan. Setelah pulang dari toko Kak Lila, tubuhnya lelah, tapi pikirannya lebih lelah lagi. Padahal hari ini toko tutup lebih awal, tapi rasa lelah itu malah semakin menggelayuti Naya.
Setelah makan malam seadanya bersama keluarganya, Naya kembali ke kamar. Ia tak ingin berbicara banyak malam itu. Ia hanya ingin diam… dan tenggelam.
Di pojok lemari, tersimpan sebuah kotak kecil berisi barang-barang dari masa kuliah. Buku agenda, kertas-kertas bekas lomba menulis, dan print out cerpen-cerpennya yang dulu pernah ia kirim ke majalah dan kompetisi. Tangan Naya gemetar saat menyentuh lembaran-lembaran itu. Wangi kertas lama menyergap indra penciumannya, membawa ingatan jauh ke masa lalu.
Ia mengambil satu cerpen berjudul: “Langit Di Matamu” — salah satu karya favoritnya yang dulu sempat masuk nominasi lomba tingkat nasional.
Di pojok kanan atas masih ada komentar juri:
“Gaya bahasa emosional dan kuat. Namun akhir ceritanya kurang tajam. Tapi penulis ini punya potensi besar.”
Naya tersenyum pahit. “Dulu… aku percaya itu.”
Ia lalu mengambil laptop lamanya. Baterainya sudah soak, jadi ia colok langsung ke listrik. Setelah menunggu loading beberapa menit, layar akhirnya menyala. Folder bertuliskan “TULISANKU” terbuka. Puluhan dokumen dengan berbagai judul memenuhi layar. Beberapa unfinished draft, beberapa naskah cerpen lengkap, dan satu naskah novel remaja yang dulu ia targetkan selesai sebelum lulus kuliah. Tapi tidak pernah ia lanjutkan.
Ia membuka file itu:
Judul: “Pelukis Bayangan”
Kalimat pembuka masih kuat di benaknya:
“Semua orang bilang bayangan tak bisa menyentuh cahaya. Tapi aku jatuh cinta pada caranya tetap setia, meski tahu takkan pernah digenggam.”