Pagi itu, toko elektronik Kak Lila masih sepi seperti biasa. Hanya suara kipas tua yang berdecit pelan, yang beradu dengan suara jam dinding—menemani Naya duduk di balik meja kasir. Di tangannya ada buku nota, tapi tak satu pun pembeli datang sejak pagi. Di sudut, Kak Lila sedang mengecek stok kabel-kabel dan remote TV, wajahnya terlihat semakin lesu.
“Sepi banget, ya, Kak,” gumam Naya, pelan.
Kak Lila menoleh. “Iya. Mungkin orang-orang sekarang lebih mikir beli paket data daripada TV baru. HP aja udah cukup buat hiburan.”
Naya hanya mengangguk. Ia lalu membuka buku tulis kecil yang disembunyikan di bawah meja. Isinya adalah draf sinopsis dan outlite cerita yang ia kerjakan diam-diam. Naya juga membuka HP nya, bersiap menulis cerita sesuai dengan outlite yang ia rancang. Saat toko sedang sepi begini, hanya di saat seperti ini ia bisa menulis lagi. Ia tahu waktu itu sedikit, tapi setidaknya... cukup untuk satu paragraf.
Dira duduk memeluk lututnya di bangku halte. Hujan turun seperti kenangan, deras dan tak mau berhenti…
Tangannya menulis cepat. Namun baru dua baris, bel pintu toko berbunyi.
“Selamat siang,” kata seorang pria paruh baya yang masuk sambil melihat-lihat rak TV.
Naya buru-buru menutup buku dan meletakkan HP nya. Ia kembali berdiri dan tersenyum, melayani seperti biasa. Beberapa menit ia habiskan menjelaskan perbedaan TV digital 24 inci dan 32 inci, menawarkan promo angsuran, hingga membantu mengecek stok.
Setelah pria itu pergi—tanpa membeli—Naya duduk lagi. Punggungnya pegal, tapi pikirannya lebih lelah.
Malam harinya, di rumah, Naya membuka laptop tua miliknya. Ia menyalin dan melanjutkan cerita dari siang tadi. Terkadang harus berhenti karena laptop tiba-tiba hang. Terkadang karena suara TV di ruang depan terlalu keras. Tapi ia tetap berusaha menyelesaikan sinopsis dan satu bab awal untuk dikirim ke kompetisi.
Beberapa hari kemudian…
[GRUP PENULIS MUDA INDONESIA]
Fitria
Eh siapa yang udah submit cerita ke lomba?
Winda