Senja belum sepenuhnya turun saat Naya memutuskan untuk menelepon Reza. Ia baru saja selesai menulis satu bab cerita baru, dan entah kenapa, ia ingin berbagi. Mungkin karena sudah lama tidak merasa seantusias ini terhadap sesuatu. Mungkin karena… ia hanya butuh seseorang untuk menyemangatinya.
Panggilan disambut nada tunggu beberapa saat, sebelum akhirnya suara Reza terdengar, agak serak.
“Halo…”
“Halo, Za… ganggu nggak?”
“Enggak. Aku lagi di kos aja. Kenapa?”
Naya tersenyum kecil, walau Reza terdengar sedikit lelah.
“Aku cuma mau cerita. Tadi sore aku nulis lagi. Cerita baru. Setelah sekian lama.”
“Oh ya? Wah… bagus dong,” jawab Reza cepat, tapi datar.
Naya menunggu sejenak. Biasanya Reza akan bertanya macam-macam: ceritanya tentang apa, inspirasinya dari mana, dan apakah akan dikirim ke lomba. Tapi kali ini… hanya sunyi.
“Kamu… nggak penasaran ceritanya tentang apa?”
“Hmm… iya sih. Tapi maaf ya, Nay. Aku lagi capek banget. Tadi di pabrik banyak revisi laporan QA. QC-nya aja salah input. Kepala rasanya penuh.”
Naya diam sejenak, suaranya melembut. “Oh, maaf. Kamu kenapa nggak cerita? Ada masalah ya di tempat kerja?”
“Nggak ada yang serius. Cuma ya gitu… tekanan biasa lah,” jawab Reza singkat.
Suasana hening kembali.
“Aku seneng kok kamu mulai nulis lagi,” kata Reza akhirnya. “Itu bagus. Tapi… kamu yakin masih mau ngejar dunia itu? Aku pikir kamu sekarang lebih butuh yang pasti.”
Ucapan itu menusuk pelan. Naya terdiam, menatap jendela kamarnya yang buram.
“Aku cuma… kangen aja ngerasa hidup lewat tulisan. Walau dunia nyatanya belum berubah,” jawab Naya pelan.
Tiba-tiba, Reza berkata, “Nay, aku mau ngomong sesuatu.”