Naya duduk di meja kafe, menunggu Mira, teman lamanya sejak SMA hingga kuliah bahkan sampe sekarang. Sudah lama sekali mereka tidak bertemu, terlalu lama, bahkan. Waktu membuat persahabatan mereka semakin renggang. Mira yang kini bekerja sebagai guru honorer di sekolah swasta milik pamannya, sibuk dengan rutinitasnya. Naya juga tenggelam dalam dunia yang tak kalah sibuk dengan perjuangan mencari pekerjaan yang lebih stabil.
Mira datang dengan langkah cepat, wajahnya yang cerah sedikit dipenuhi tanda kelelahan. Sesaat sebelum duduk, Mira memeluk Naya, lalu tersenyum lelah. "Eh, lama nggak ketemu, ya!" kata Mira sambil duduk di hadapan Naya. "Jadi guru itu bener-bener nggak gampang, Nay."
Naya hanya mengangguk, tersenyum tipis. Ia merasa Mira pasti lelah dengan pekerjaan barunya. Mira langsung memulai ceritanya tanpa basa-basi.
"Jadi guru honorer itu bener-bener kerja keras, Nay. Bayarannya kecil banget, terus di sekolah swasta juga konflik antar guru banyak banget. Kadang rasanya udah capek, udah merasa berjuang, tapi nggak ada yang menghargai," ujar Mira dengan suara yang sedikit frustrasi. "Bahkan kadang itu, aku mikir, buat apa sih jadi guru? Kalau nggak jadi PNS, gajinya ya cuma segitu aja."
Naya menatap Mira, mencoba memahami perasaan sahabatnya yang sudah bertahun-tahun tidak ia lihat. Mira yang selalu ceria, kini terlihat lebih serius dan lelah. Naya tidak tahu harus berkata apa.
"Ngomong-ngomong, gimana kabar kamu, Nay? Kerja di mana sekarang?" tanya Mira, mencoba mengalihkan percakapan ke Naya.
Naya tersenyum, meski hatinya sedikit berat. Ia menyandarkan punggungnya pada kursi, merasa kata-kata tidak bisa mengalir dengan mudah. "Aku… masih di toko elektronik, Mira. Masih belum ada kemajuan, masih kerja jadi admin," jawab Naya pelan.
Mira mengernyitkan dahi. "Tapi kan kamu dulu pengen jadi guru, ya? Kenapa nggak coba mendaftar jadi guru aja? Walaupun nggak jadi PNS, kan tetap ada senengnya, ya, kalau kita bisa ngajarin anak-anak. Tapi ya jadi guru honorer sih… ya, begitu, gaji kecil, capek, dan kadang nggak dihargai."
Naya terdiam, merenung sejenak. Mendengar keluh kesah Mira, ia merasa hatinya sedikit tertampar. Ia teringat kembali pada mimpinya dulu—menjadi guru sewaktu kecil, meski seiring waktu pemikirannya mulai berubah tapi dia tetap kuliah mengambil jurusan pendidikan, berharap suatu saat menjadi seorang pengajar yang bisa memberi pengaruh baik bagi murid-muridnya, ya sekaligus membuat orang tuanya senang. Tapi sekarang, apakah itu masih relevan dengan keadaan? Apakah ia sanggup bertahan dengan bayaran yang kecil dan kondisi kerja yang tidak stabil? Apalagi sekarang susah banget buat masuk karena tidak punya orang dalam.
Mira melanjutkan dengan senyum lebar, sedikit bercanda. "Ya, untungnya aku masuk sekolah swasta ini juga nggak pake susah, karena pamanku yang punya. Kalau nggak, nggak tahu deh harus jadi apa," katanya dengan tertawa kecil, seolah mencoba meredakan ketegangan yang ada. "Buat orang lain sih susah, tapi ya aku ada jalan belakang gitu."
Naya tertawa ringan, meski sedikit canggung. "Wah, berarti kamu jadi guru karena nepotisme, ya?" Naya menggoda, namun di dalam hatinya, ia merasa sedikit iri dengan kemudahan yang dimiliki Mira.
"Ah, nggak gitu juga, Nay. Paman cuma bantu biar aku nggak menganggur, itu juga nggak mudah, loh!" Mira menyahut, tersenyum. "Tapi memang, jadi guru sekarang udah beda banget, nggak seperti dulu lagi. Kalau nggak PNS, ya gaji cuma segitu."
Naya kembali terdiam, berpikir. Ia mulai merasa dilema itu semakin menghantuinya. Apakah ia akan tetap mengejar mimpi menjadi guru, ataukah ia akan berbalik arah setelah mendengar curhatan Mira yang penuh perjuangan ini?
"Jadi, kamu gimana, Mira?" tanya Naya, mencoba mengalihkan perhatian. "Kamu masih bertahan jadi guru, ya?"