Hari-hari Naya semakin berat. Setiap pagi dia bangun dan menjalani rutinitas yang hampir sama: bangun tidur, mandi, makan cepat, lalu bergegas ke toko elektronik tempat dia bekerja. Sejak dua bulan yang lalu, toko elektronik itu semakin sepi. Banyak barang elektronik yang dijual tidak laku, dan meskipun sudah banyak diskon, pelanggan tetap jarang datang. Naya merasa rutinitasnya semakin monoton. Ia hanya duduk di meja kasir, memeriksa stok barang, atau melayani pelanggan yang datang sekadar menanyakan harga televisi digital atau alat elektronik lainnya. Setiap hari terasa sama. Waktu berjalan lambat, dan meskipun begitu, tidak ada yang bisa dilakukan selain menunggu sampai jam kerja selesai.
"Naya, tolong cek stok TV digital 42 inci," kata Kak Lila, perempuan yang lebih tua sepuluh tahun dari Naya itu semakin lelah. Seperti Naya, Kak Lila juga merasa berat memikul beban yang semakin menumpuk. Apalagi usaha warungnya bangkrut karena kalah bersaing dengan kedai-kedai baru yang lebih modern. Toko ini adalah usaha terakhirnya, dan meskipun begitu, Kak Lila tetap berusaha keras agar tidak tutup.
Naya mengangguk dan berjalan menuju rak yang penuh dengan barang elektronik. Di sana, ia melihat berbagai model televisi yang terpasang dengan harga-harga yang semakin menurun. Ia merasa semakin terperangkap dalam dunia yang semakin sempit. Toko ini sudah hampir tidak bisa bertahan lagi, dan walaupun ia bekerja keras, rasanya tidak ada yang berubah. Ia sering kali merenung, apakah dia akan terus seperti ini? Bekerja di toko elektronik, melayani pelanggan yang datang sekali-sekali, sementara di luar sana banyak orang yang memiliki pekerjaan lebih sesuai dengan gelar S1-nya, bahkan mungkin yang sudah bekerja di kantor besar. Ia merasa seperti hidupnya terjebak dalam rutinitas yang tak ada habisnya.
Sambil melayani pelanggan, pikirannya melayang kembali pada masalah yang sedang dihadapi. Reza, pacarnya, yang kini bekerja di pabrik manufaktur di Semarang. Mereka sudah bertahun-tahun bersama, namun ada jarak yang semakin terasa, apalagi setelah obrolan waktu itu. Jika Reza ingin pergi ke Jepang untuk bekerja, yang berarti mereka harus lebih lama lagi berjauhan. Sementara Naya, ia merasa semakin bingung tentang langkah hidupnya. Haruskah ia terus menunggu Reza? Atau akankah ia melanjutkan jalan yang sudah ia pilih, dengan atau tanpa kehadiran Reza?
Pesan dari Mira yang beberapa waktu lalu ia baca masih terngiang di telinganya. “Jangan terlalu keras sama diri sendiri, Nay. Kamu juga berhak bahagia.” Kata-kata itu seperti obat bagi luka batinnya. Tapi, di balik itu semua, ada ketakutan yang membayanginya. Jika ia terus menunggu, apa yang akan terjadi padanya? Usianya semakin bertambah, dan ia merasa seperti semakin jauh dari impian-impiannya.
Setelah melayani pelanggan, Naya kembali duduk di meja kasir. Kali ini, ia membuka aplikasi lamaran kerja di ponselnya. Hatinya terasa berat. Lamaran demi lamaran yang sudah dikirimkan selalu berakhir dengan penolakan. Dia merasa bahwa bahkan gelar S1 yang dia miliki tidak cukup untuk membantunya mendapatkan pekerjaan yang layak. Naya mengingat percakapan dengan Mira tadi. Jika dia melanjutkan mendaftar untuk CPNS, itu akan memakan waktu lama, dan kemungkinan besar peluangnya pun kecil. CPNS hanya dibuka sekali setahun, dan saat ini, informasi yang diterimanya adalah bahwa tahun ini CPNS tidak dibuka. Kabar itu membuat hatinya semakin kecewa.
Seperti apa masa depannya jika terus seperti ini?
"Naya, apakah kamu sudah mendengar berita terbaru?" Kak Lila tiba-tiba muncul di depan meja kasir. "Tahun ini CPNS nggak dibuka. Mungkin kamu harus cari pekerjaan lain dulu."
Kata-kata Kak Lila seperti siraman air dingin di tengah pikirannya yang sudah ruwet. Naya hanya bisa tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kekecewaannya. “Iya, Kak. Aku tahu,” jawabnya dengan pelan.
Naya merasa seolah-olah semua harapannya sirna begitu saja. Keinginannya untuk menjadi seorang guru, atau bahkan bekerja di instansi pemerintah, seolah mustahil tercapai dalam waktu dekat. Akhirnya, Naya merasa harus membuat keputusan besar. Apakah ia akan terus bertahan sebagai admin toko elektronik yang semakin sepi, ataukah ia akan mencoba peruntungan di tempat lain, bahkan jika itu berarti harus merelakan ijazah S1-nya?
Pikirannya semakin kacau. Setiap kali ia merasa siap membuat keputusan, bayangan Reza muncul. Reza yang sudah mengungkapkan rencananya untuk bekerja di Jepang selama beberapa tahun ke depan. Naya tahu bahwa hubungan mereka akan semakin jauh jika dia terus bertahan menunggu. Tapi apakah dia bisa menerima kenyataan jika Reza benar-benar pergi, dan dirinya hanya menjadi seorang wanita yang hidup dalam penantian?
Saat beristirahat sejenak, Naya membuka aplikasi chat grup yang sudah lama tidak dia buka. Grup kepenulisan yang dulu sering ia ikuti bersama teman-temannya semasa kuliah. Banyak teman-temannya yang sekarang sudah bekerja di kantor besar atau menjadi penulis terkenal. Di sana, ada banyak percakapan tentang proyek-proyek menulis dan kesempatan penerbitan buku. Naya merasa tersentuh, tetapi sekaligus iri. Ia tidak bisa menulis sebanyak teman-temannya, apalagi menerbitkan karya. Sejak terakhir kali menulis beberapa waktu yang lalu, ia merasa stuck, kehilangan arah. Bahkan untuk menulis naskah yang sudah ia mulai pun, ia merasa kehilangan inspirasi.
"Hey Nay, gimana kabar naskahnya?" pesan dari teman lama yang dulu sering bertukar ide dan cerita, menanyakan tentang perkembangan tulisannya.
Naya hanya bisa menatap layar ponselnya lama, merasa semakin tertekan. Semua teman-temannya tampak maju dalam karier mereka, sementara ia masih terjebak dalam rutinitas yang tidak membawa perubahan. Dengan berat hati, ia mengetik balasan singkat, "Masih jalan, belum ada perkembangan signifikan."
Naya menatap langit yang mulai gelap. Apa yang sebenarnya dia inginkan? Menjadi seorang penulis? Menjadi seorang guru? Ataukah ada jalan lain yang harus ia ambil? Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar bingung. Mungkin, yang terbaik adalah terus berusaha, mencoba segala peluang yang ada, meskipun itu berat. Tetapi, di dalam hatinya, Naya tahu bahwa keputusan yang benar-benar penting harus datang dari dirinya sendiri, bukan dari orang lain, atau dari impian yang belum tercapai. Sebuah pilihan yang sulit, tetapi harus dihadapi dengan berani.
Naya masih duduk di meja kasir toko elektronik itu, matanya terpaku pada layar ponsel. Seharian, ia tidak berani membuka pengumuman tentang hasil kompetisi menulis. Ratusan naskah yang masuk, dan ia yakin namanya tidak akan ada di antara yang terpilih. Namun, hari itu—tanpa sengaja—tangannya menekan tautan pengumuman itu.
Dengan degup jantung yang cepat, ia membaca dengan seksama. "10 Finalis Terbaik." Nama-nama satu per satu tertera di layar, dan di urutan ketujuh, matanya terhenti. Nama "Kanaya Ardynara Selaras." terlihat jelas di sana. Naya hampir tidak percaya.
Matanya berulang kali melirik nama yang tercetak jelas di urutan ketujuh. Ia tidak bisa mempercayai apa yang baru saja dilihatnya. Namanya—yang sering merasa terpinggirkan oleh keraguan dan ketidakpastian—terdaftar di antara 10 finalis terbaik. Untuk sesaat, ia merasa seakan ada kekuatan yang mengangkatnya dari jurang kebimbangan. Mimpi yang pernah ia pendam perlahan mulai terlihat nyata.
Tanpa berpikir panjang, Naya berdiri dengan tubuh yang hampir tidak bisa menahan kegembiraan. Ia melompat, kemudian berteriak dengan suara penuh sukacita, "YES! Aku masuk! Aku masuk!" suaranya menggema di dalam toko elektronik yang sepi itu.
Kak Lila, yang sejak tadi sedang memeriksa earphone di rak dekat kasir, tersentak kaget mendengar teriakan itu. Ia cepat-cepat berjalan menuju Naya yang masih berdiri dengan ekspresi tak percaya di wajahnya. "Ada apa, Nay? Kok heboh banget?" tanya Kak Lila dengan nada bingung, sementara matanya melirik sekitar untuk memastikan tidak ada yang salah.
Naya, dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya, memegang ponselnya erat-erat dan menunjukkannya pada Kak Lila. "Lihat, Kak! Aku masuk 10 besar finalis kompetisi menulis itu! Namaku ada di sini!" ujarnya dengan napas terengah-engah karena terlalu bersemangat.
Kak Lila menatap ponsel Naya sejenak, namun ekspresinya tidak berubah banyak. Ia hanya mengangkat alis, bingung. "Emang nulis bisa dapet uang?" tanyanya, sambil memperhatikan earphone yang ada di tangannya.
Pertanyaan itu datang dengan kejujuran yang tak disangka-sangka. Naya terdiam, seakan ada beban yang tiba-tiba menjalar di dadanya. Sebuah rasa yang sulit dijelaskan—antara kebahagiaan yang baru saja ia rasakan dan realitas yang datang begitu cepat. Ia menatap Kak Lila, kemudian menunduk, memikirkan apa yang harus dijawab. Sebab saat ini, ia memang belum mendapatkan apa-apa. Ia hanya berada di babak pertama dari serangkaian ujian panjang dalam dunia menulis ini.
"Belum, Kak," jawab Naya pelan, suaranya sedikit meredup. "Tapi... ini langkah pertama. Aku bisa menulis lagi, bisa punya kesempatan untuk diterbitkan kalau menang dan pasti dapat uang juga. Itu lebih dari cukup buat aku sekarang." Ia mencoba tersenyum, meski dalam hatinya ada sedikit kepedihan yang tak bisa disembunyikan.
Kak Lila hanya mengangguk pelan, kembali melihat earphone yang ia pegang. Tidak ada ekspresi lebih yang Naya bisa baca dari wajah sepupunya itu. Kak Lila memang selalu lebih pragmatis, lebih realistis—sebuah sifat yang kadang membuat Naya merasa seakan tidak dimengerti.
Beberapa detik setelah itu, ponsel Naya bergetar. Pesan baru masuk di grup WA para finalis kompetisi. Tangan Naya segera meraih ponsel, dan matanya langsung tertuju pada deretan pesan yang masuk.