Belok yang Membawaku Pulang

Vsiliya Rahma
Chapter #11

Bab 11 Mencari Jati Diri

Hari-hari berlalu, dan Naya semakin tenggelam dalam dunia tulisannya. Setiap malam, ia duduk di meja yang kini terasa seperti tempat perlindungan, tempat di mana ia bisa mencurahkan segala perasaan yang selama ini ia pendam. Dunia nyata terasa begitu jauh, seolah hilang begitu saja saat ia menatap layar laptopnya. Tidak ada lagi Reza, tidak ada lagi pengkhianatan, tidak ada lagi rasa sakit yang mengganjal di hati. Semua itu menjadi bahan bakar untuk menulis.

Naya menulis dengan penuh semangat, tapi kali ini bukan untuk kompetisi atau untuk mencari uang. Semua yang ia tulis adalah untuk dirinya sendiri. Setiap kata, setiap kalimat, adalah pelarian dari kenyataan yang menyakitkan. Ia menulis tentang segala hal yang pernah ia rasakan—cinta yang datang dan pergi, kehilangan yang menyakitkan, serta harapan yang perlahan mulai tumbuh kembali.

Namun, ada satu bagian dari tulisannya yang paling ia tuangkan dengan penuh emosi—tulisan yang seolah menjadi refleksi dirinya yang sedang berjuang untuk menemukan jati diri. Tulisannya adalah pengakuan dan juga harapan, tentang bagaimana ia belajar untuk menerima kenyataan dan bangkit setelah segala yang terjadi.

Aku merasa seperti aku terjebak di antara bayang-bayang kenangan. Setiap langkahku terasa seperti langkah yang tak pernah benar-benar milikku. Aku berlari, mengejar sesuatu yang aku pikir bisa membuatku bahagia, namun di setiap langkah, aku selalu merasa kosong. Mengapa aku merasa tidak pernah cukup?

Naya berhenti sejenak, meletakkan jari-jarinya di atas keyboard. Ia menatap kalimat yang baru saja ia ketik, merasa seolah-olah kata-kata itu bukan hanya miliknya, tapi juga milik semua orang yang pernah merasa kehilangan. Apakah ada yang pernah merasa seperti ini? gumamnya dalam hati. Ia menggigit bibir bawahnya, lalu kembali mengetik.

Aku bertemu dengan seseorang yang mengaku mencintaiku, namun dia pergi tanpa alasan yang jelas. Aku disalahkan untuk keputusan yang bukan milikku. Lalu, aku mencoba membangun kembali diriku, dan dia datang kembali. Namun, kali ini aku tahu—dia datang bukan untuk memperbaiki apa yang rusak, melainkan untuk melanjutkan apa yang sudah hilang.

Naya menyandarkan punggungnya ke kursi, menarik napas panjang. Tulisan itu terasa menyakitkan, tetapi juga melegakan. Setiap kata yang ia ketik mengingatkan dirinya pada kenangan yang selama ini ia coba simpan rapat-rapat. Kenapa aku begitu bodoh?

Kenapa aku selalu memberi kesempatan padanya? pikirnya. Tapi ia tahu, ini bukan soal siapa yang benar atau salah. Ini soal menerima kenyataan bahwa hidup tidak selalu berjalan seperti yang kita harapkan.

Aku merasa seperti aku sedang mencari seseorang yang tidak pernah benar-benar ada. Mencari kebahagiaan di luar diriku, berharap orang lain yang akan mengisi kekosongan ini. Tapi mungkin, kebahagiaan itu tidak datang dari luar. Mungkin kebahagiaan itu ada di dalam diriku, di dalam hati yang belum aku pahami sepenuhnya.

Naya berhenti menulis lagi, kali ini matanya sedikit basah. Meskipun air mata itu tidak jatuh, namun ada perasaan yang berat di dadanya. Seolah ada sebuah pintu yang perlahan terbuka, memberi ruang bagi rasa sakit yang sempat ia pendam dalam-dalam. Rasa sakit itu datang bukan hanya dari Reza, tetapi juga dari dirinya sendiri yang selalu merasa tidak cukup, tidak berharga.

Dia menggenggam erat udara di kedua tangannya, mencoba menenangkan diri. Setelah beberapa saat, ia kembali melanjutkan tulisannya.

Aku belajar bahwa terkadang, kita harus menerima kenyataan yang tidak kita inginkan. Cinta itu bisa datang dan pergi, seperti angin yang berhembus, meninggalkan kita dengan kenangan. Tetapi, aku harus menerima bahwa kenangan itu hanyalah bagian dari perjalanan. Aku tidak bisa terus menerus terjebak di dalamnya. Aku harus terus berjalan, meskipun langkahku terasa berat.

Lihat selengkapnya