Tiga bulan telah berlalu sejak kompetisi dimulai. Selama itu pula Naya hidup dalam ritme yang tak pernah ia sangka akan ia jalani—menulis, menulis, dan terus menulis. Tanpa absen, ia mengunggah satu bab setiap minggu, hingga genap dua belas bab. Saat menulis bab terakhir, tangannya gemetar, bukan karena lelah, tapi karena rasa haru yang tak bisa dijelaskan. Ia telah menyelesaikan sebuah cerita yang lahir dari luka dan harapan dalam dirinya.
Dua hari lalu, dengan jantung yang berdebar dan doa yang menggantung di langit malam, ia mengirim naskah lengkap ke email editor. Semua sudah ia kirim: bab-bab yang belum tayang, ending yang ia pikirkan matang-matang, dan sinopsis revisi terakhir. Yang tersisa hanyalah penantian.
Dan penantian itu tidak mudah.
Dua minggu kemudian, sebuah notifikasi masuk di grup WhatsApp “Rintik Media Berkreasi.” Naya menahan napas. Jari-jarinya gemetar saat membuka pesan dari editor.
“Selamat kepada tiga naskah terbaik: Jiwa Yang Terikat, Langkah Hujan, dan Titik Nol. Ketiga naskah ini akan diterbitkan gratis dan mendapatkan reward berupa uang tunai. Terima kasih untuk semua peserta atas dedikasi dan kerja kerasnya.”
Naya membacanya pelan-pelan, memastikan tidak salah lihat. Tapi tak ada judul ceritanya di sana. Bukan dirinya. Ia bukan salah satu dari tiga besar.
Sejenak, dadanya terasa sesak. Ia bersandar ke sandaran kursi, menatap layar laptop yang menampilkan folder naskah yang telah ia perjuangkan selama tiga bulan. Matanya memanas, tapi ia tidak menangis. Hanya tersenyum pahit.
“Sudah sejauh ini, tapi masih belum cukup,” bisiknya lirih.
Namun sebelum ia sempat menutup laptop, notifikasi lain masuk. Editor kembali mengetik.
“Tapi tunggu dulu. Kami dari tim editor memilih untuk menerbitkan dua naskah tambahan yang menurut kami punya potensi besar untuk berkembang. Meski tidak mendapatkan reward uang, kedua naskah ini akan tetap diterbitkan secara gratis dan mendapat dukungan promosi dari kami.”
Jantung Naya berdetak lebih cepat. Ada jeda sebelum pesan berikutnya muncul. Lalu akhirnya, nama ceritanya muncul di layar.
“Selamat kepada Bayangan di Balik Jendela oleh Kanaya Ardynara Selaras dan Cermin Rahasia oleh Reymas Aji. Naskah kalian akan kami terbitkan!”
Naya menutup mulutnya dengan tangan. Tangisnya akhirnya jatuh. Tapi kali ini bukan karena kecewa, melainkan karena lega dan bahagia. Ia tak bisa berkata-kata. Perjuangannya, kesabarannya, kerja kerasnya… semuanya terbayar, meski tidak sepenuhnya seperti yang ia harapkan. Tapi ini cukup.
Lebih dari cukup.
Naya berdiri dari kursinya, menatap langit-langit kamar dan berbisik, “Terima kasih... akhirnya sedikit berhasil.”
Ponselnya terus berdering. Ucapan selamat berdatangan dari teman-teman penulis di grup. Mereka memuji tulisannya, bahkan beberapa bilang mereka menunggu novelnya benar-benar rilis nanti.