Dua bulan sejak bukunya diterbitkan, Naya masih bertahan bekerja di Toko Elektronik milik Kak Lila. Kali ini toko sedang tidak terlalu ramai siang itu. Ia baru saja selesai melayani seorang pembeli yang ingin membeli headset. Setelah mengucapkan terima kasih dan menyerahkan nota pembelian, Naya kembali ke kursinya di belakang meja kasir. Di sela-sela waktu luang, ia membuka ponselnya. Ada beberapa notifikasi dari media sosial dan pesan pribadi dari pembaca bukunya.
“Kak, terima kasih udah nulis buku ini. Aku ngerasa banget apa yang Dira rasain. Kayak baca ulang hidup sendiri.”
“Kalau Kakak ada karya baru, aku pasti beli lagi. Semangat terus ya!”
Naya tersenyum, tulus dan dalam. Dulu, ia menulis untuk melarikan diri. Kini, ia menulis untuk menyembuhkan. Dulu ia merasa sendirian, sekarang ia tahu banyak yang merasakan luka serupa dan butuh suara. Dan ia, entah bagaimana, jadi suara itu.
Ia membuka dashboard royalti dari penerbit. Angkanya tidak besar, tapi cukup untuk membantunya membayar keperluan rumah, dan menyisihkan sedikit untuk adiknya. Jumlah yang tidak banyak, tapi setiap rupiah terasa berarti karena datang dari sesuatu yang ia cintai.
Malamnya, setelah pulang kerja, ia tidak langsung tidur. Ia menyalakan laptop dan kembali menulis. Cerita baru. Tentang seorang perempuan yang kehilangan, lalu berdiri lagi, lalu memilih untuk hidup, meski dunia tidak selalu ramah. Cerita itu mungkin tidak akan pernah dibaca siapa pun, atau mungkin suatu hari nanti menjadi buku berikutnya. Tapi bagi Naya, menulisnya adalah kemenangan.
Liya masuk ke kamar membawa sepiring kecil camilan. “Kak, jangan lupa makan ya.”
Naya mengangguk. “Makasih, Dek. Kakak nulis, bentar lagi selesai.”
Liya duduk di tepi kasur, memperhatikan kakaknya yang serius mengetik. “Sekarang Kakak kelihatan lebih bahagia. Senyumnya beda.”
Naya menoleh, tersenyum, lalu berkata pelan, “Mungkin karena kali ini Kakak kerja dengan hati, bukan cuma demi bertahan hidup.”
Hening sebentar. Lalu Liya memeluk kakaknya dari belakang.
Naya memutar badan, membalas pelukan adiknya. Dia tersenyum sambil bermonolog dalam hati.
"Tenang kali ini sangat menyenangkan, aku yang menemukan diriku dalam tulisan, kamu yang sudah selesai study tour, dan ayah yang sudah mulai bekerja lagi."
Naya melepas pelukannya dia kembali menatap layar yang masih menyala. Tulisannya belum selesai, tapi hatinya sudah mulai utuh. Ia tidak lagi menunggu validasi dari luar. Ia tidak lagi mencari pembuktian.
Kini, ia hanya ingin menjadi dirinya sendiri. Dan untuk pertama kalinya, itu terasa cukup.
Sejak bukunya resmi beredar di pasaran. Meskipun bukan best seller, pembaca mulai mengenal nama Naya. Beberapa komunitas penulis mulai menyebut-nyebut namanya, dan undangan untuk menjadi pembicara kecil-kecilan mulai berdatangan—termasuk dari sebuah komunitas literasi di luar kota.
Suatu sore, saat ia sedang mengecek stok barang di toko elektronik, ponselnya berbunyi. Sebuah email masuk dari salah satu penerbit besar di Jakarta.
Kepada Naya Ardynara Selaras,
Kami membaca bukumu yang berjudul "Langkah yang Terluka" dan merasa sangat terhubung dengan gaya penceritaanmu yang jujur dan menyentuh. Kami tertarik untuk bekerja sama dalam proyek kisah inspiratif. Jika Saudara/i berminat, kami akan sangat senang mengatur pertemuan online untuk membahas lebih lanjut.