Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa—atau setidaknya terlihat begitu di permukaan. Naya tetap bekerja di toko elektronik, menulis di sela waktu, dan mulai menyiapkan naskah untuk proyek Kisah Inspiratif. Namun di rumah, suasana tidak sehangat sebelumnya.
Ibunya berkali-kali menyinggung soal CPNS.
“Bu, aku lagi ngerjain naskah untuk penerbit. Ada tenggatnya,” ujar Naya suatu malam ketika ibunya mengajaknya membicarakan dokumen-dokumen persyaratan CPNS.
“Naya… kamu ini ya. Nulis, nulis, terus. Memangnya kamu mau kerja kayak gitu selamanya? Masa depan itu butuh kepastian,” balas ibunya dengan nada sedikit tinggi.
“Tapi aku bahagia, Bu. Akhirnya aku ngerasa punya tujuan. Bukuku diterbitin, dapat royalti, orang mulai kenal tulisanku…” suara Naya ikut meninggi, tak kuasa menahan rasa terpojok. Biasanya Naya hanya akan diam, tapi kali ini dia sudah tidak tahan lagi.
Ibunya terdiam sejenak, lalu menjawab dengan lirih tapi tajam, “Bahagia itu bukan cuma sekarang, Nduk. Ibu cuma ingin kamu punya masa depan yang jelas. Apa kamu mau terus kerja di toko dan nunggu royalti yang belum tentu?”
Perkataan itu menusuk. Naya berdiri dari kursinya, menatap ibunya dengan mata yang mulai berkaca.
“Apa semua yang aku usahakan sekarang nggak cukup kelihatan, Bu? Selalu dianggap nggak jelas, nggak aman, padahal ini yang bikin aku bisa bangkit dari keterpurukan dulu…”
Terdengar suara kursi bergeser di ruang sebelah. Ayah Naya muncul, mendekati mereka dengan langkah pelan.