Naya duduk di kafe kecil yang tak jauh dari toko elektronik tempatnya bekerja. Di hadapannya, secangkir coklat panas yang mulai mendingin, dan sebuah laptop terbuka menampilkan layar kosong. Ia sudah dua jam di sana, namun belum menulis satu paragraf pun untuk naskahnya.
Hatinya berdebat. Antara mengikuti CPNS yang diidamkan ibunya, atau tetap menapaki jalan sunyi bernama dunia kepenulisan.
“Kenapa kelihatan berat banget?” tanya seseorang yang tiba-tiba duduk di kursi seberangnya.
Naya mengangkat wajah. Ternyata itu Kak Ardi, penulis senior dari grup penulis terbaik yang selama ini hanya ia kenal lewat profil WhatsApp. Mereka kebetulan tinggal di kota yang sama, dan hari ini janjian bertemu karena Kak Ardi menawarkan diskusi ringan soal naskahnya.
“Aku bingung, Kak… Ibu pengen aku ikut CPNS. Tapi aku lagi senang-senangnya nulis. Rasanya baru kali ini aku merasa hidupku punya warna, punya arti. Tapi ibu bilang itu nggak cukup,” jelas Naya dengan suara pelan.
Kak Ardi mengangguk, lalu menatap Naya lekat-lekat. “Kamu tahu, Nay? Semua penulis pernah mengalami fase itu. Fase di mana kamu harus milih: mengikuti kata hati atau kata orang lain yang ingin kamu ‘aman’. Dan kadang, keduanya nggak salah.”
Naya menunduk. “Tapi kalau aku ikut CPNS dan meninggalkan dunia ini, aku takut kehilangan diriku sendiri…”
“Siapa bilang harus ninggalin salah satunya?” sahut Kak Ardi cepat. “Banyak penulis hebat yang tetap kerja kantoran. Tapi saat mereka nulis, jiwanya tetap utuh. Pilihannya bukan tentang meninggalkan, tapi tentang mengatur ruang dan waktu untuk dua hal yang penting.”
Naya terdiam, lalu perlahan tersenyum. Mungkin Kak Ardi benar. Mungkin, dunia ini bukan soal memilih satu dan menolak lainnya, tapi tentang menjembatani keduanya.
Malam itu, Naya pulang dengan hati yang lebih ringan. Ia masuk ke kamarnya, menyalakan laptopnya kembali, dan mulai mengetik...
Ketika hidup memberiku luka, aku berpikir aku hancur. Tapi ternyata, dari pecahanku itu, aku bisa melihat cahaya kecil yang tak pernah kulihat saat aku utuh. Dan mungkin, di situlah aku lahir kembali, bukan sebagai sosok sempurna, tapi sebagai aku yang sebenar-benarnya.
Tak lama setelah itu, notifikasi grup penulis berbunyi. Editor membagikan jadwal promosi buku mereka dan memberi semangat untuk para penulis agar berbagi kisah di media sosial. Satu per satu rekan penulisnya mengirimkan kata-kata dukungan, termasuk untuk Naya.