Minggu-minggu berikutnya, Naya mulai sibuk mempersiapkan seleksi CPNS. Setiap malam setelah bekerja di toko elektronik, ia membuka buku-buku dan materi ujian yang sudah disiapkan ibunya. Walaupun hatinya masih berdebar dengan dunia menulis, ia berusaha menjalani proses ini dengan serius. Ini bukan hanya tentang memenuhi keinginan ibunya, tapi juga tentang dirinya sendiri, tentang bisa membuktikan bahwa ia bisa sukses di berbagai bidang.
Namun, di tengah waktu yang terbatas antara pekerjaan dan belajar, Naya merasakan tekanan yang berat. Ujian seleksi CPNS tidak seperti menulis, yang bisa ia lakukan di waktu senggang. Ia harus fokus, menghafal, dan mempelajari banyak hal baru.
"Kenapa aku jadi ngerasa terjebak seperti ini?" gumam Naya sambil memandang tumpukan buku di mejanya, sebagian besar masih dalam keadaan terabaikan.
Di waktu senggang, Naya tetap menulis, meskipun hanya beberapa paragraf. Menulis itu seakan menjadi pelarian dari kekhawatirannya. Tapi setiap kali menatap buku-buku CPNS, ia merasa harus memberi perhatian lebih pada hal itu. Apakah ia bisa membagi fokusnya tanpa kehilangan semangat menulis?
Suatu malam, saat tengah belajar soal-soal matematika dasar untuk tes CPNS, Naya teringat percakapan dengan ayahnya beberapa waktu lalu.
"Jangan buru-buru merasa harus milih salah satu. Tapi jangan juga menutup telinga dari orang-orang yang sayang sama kamu," kata ayahnya.
Naya menarik napas dalam-dalam dan memutuskan untuk menata ulang prioritasnya. Ia masih bisa melanjutkan menulis, meskipun tidak sebanyak dulu. Namun, untuk CPNS, ia harus memberi usaha yang lebih besar agar bisa benar-benar mempersiapkan diri.