Belok yang Membawaku Pulang

Vsiliya Rahma
Chapter #17

Bab 17 Langkah Baru, Kedekatan Baru

Tes baru saja selesai. Naya berjalan keluar gedung sambil menenteng map berisi dokumen. Langit mendung yang sejak pagi hanya menggantung kini pecah juga. Air mengalir deras di tepi trotoar, membentuk aliran kecil yang berlomba ke saluran drainase. Suasana di sekitar gedung tempat tes CPNS berlangsung mendadak riuh—bukan oleh suara manusia, melainkan oleh langkah-langkah terburu-buru, suara pintu payung terbuka, dan deru motor yang berlalu cepat menghindari banjir dadakan.

Naya berdiri di bawah atap kecil dekat gerbang keluar. Jaket parasut tipis yang ia kenakan tak banyak membantu menghalau dingin yang menusuk kulit. Telapak tangannya menggenggam ponsel, layar menyala menampilkan notifikasi pembatalan dari aplikasi ojek online.

Driver membatalkan pesanan.

Lagi. Dan lagi.

Ia menghela napas pelan. Itu kali ketiga. Hujan deras membuat para pengemudi enggan mengambil pesanan, apalagi ke arah tempat tinggalnya yang cukup masuk ke gang. Beberapa peserta tes lainnya sudah menghilang satu per satu, entah karena dijemput atau berhasil memesan kendaraan lebih cepat. Kini, hanya tinggal beberapa orang yang masih berteduh, termasuk dirinya.

Naya memandangi jalanan yang mulai tergenang, ragu apakah ia harus tetap menunggu atau berjalan mencari tempat berteduh yang lebih luas. Saat itulah sebuah mobil hitam berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri. Kaca jendela sisi pengemudi perlahan diturunkan.

"Nggak dapet ojek, ya?"

Suara itu membuatnya menoleh. Seorang pria dengan rambut agak berantakan menyapanya dari balik kemudi. Wajahnya tampak familiar. Ah, ya—Alverio, peserta yang duduk tak jauh darinya di ruang tunggu sebelum ujian. Ia ingat karena pria itu sempat meminjam pulpen ke panitia dan melontarkan lelucon yang membuat beberapa orang tertawa kecil.

Naya mengangguk pelan, masih menjaga jarak. "Udah tiga kali dibatalin. Kayaknya karena hujan."

"Rumahmu arah mana?" tanya Alverio lagi, masih dengan nada santai. "Kalau searah, aku bisa anterin. Nggak apa-apa, sekalian pulang."

Naya tersenyum sopan tapi segera menggeleng. "Makasih. Aku biasa naik ojek, kok. Lagipula kita nggak saling kenal."

"Ya udah," ujar Alverio, lalu mencondongkan tubuh sedikit sambil bersandar ke kemudi. "Tapi kalau nanti kedinginan di sini, ingat aja ada orang baik hati yang rela jadi ojek pribadi—tanpa tarif surge pricing."

Naya nyaris tertawa. Nada bercandanya membuat suasana yang dingin mendadak sedikit lebih hangat. Ia menggeser pandangannya ke arah hujan yang makin menggila. Ujung celananya sudah mulai basah, dan kerudungnya sudah tidak berbentuk lagi.

"Daerah rumahku di Cendana," katanya akhirnya.

Alverio tersenyum lebar. "Lah, aku lewat situ juga. Yaudah, yuk, sekalian. Tenang aja, aku udah vaksin, SIM hidup, STNK lengkap, dan janji nggak akan ngajak nikah di perjalanan hahahaha."

Setelah beberapa detik berpikir, Naya akhirnya mengangguk setuju. Ia membuka pintu depan mobil dan duduk di kursi penumpang. Mobil terasa hangat dibanding udara luar. Aroma kabin seperti perpaduan parfum maskulin dan sisa kopi.

Suasana dalam mobil hening, hanya diiringi suara wiper yang menyapu air hujan di kaca depan. Jalanan ramai, tapi perlahan-lahan.

"Aku Alverio, by the way. Alverio Mahendra," katanya, memecah keheningan.

Naya menoleh sekilas. "Kanaya. Kanaya Aldynara Selaras."

"Kanaya... namanya indah. Kayak nama tokoh utama novel."

Naya hanya tersenyum kecil, tak ingin memberi respons berlebihan. Namun dalam hati, ia mengakui ada sesuatu dari cara pria ini berbicara yang terasa nyaman. Santai, tapi tidak sembrono.

Lihat selengkapnya