Naya membuka mata perlahan. Cahaya matahari menyelinap masuk melalui sela gorden kamarnya. Hujan semalam masih menyisakan udara lembap dan aroma tanah basah. Di luar, jalanan terlihat masih sepi, hanya sesekali suara motor tukang sayur melintas.
Ia meraih ponsel di meja kecil di samping tempat tidur, bukan karena ingin membalas pesan penting—memang tak ada—hanya kebiasaan. Tapi pagi ini, notifikasi yang muncul membuat jari-jarinya berhenti sebentar.
Alverio
Kopi pagi atau teh pagi? Atau cukup senyum Kanaya biar nggak ngantuk?
Naya memutar mata pelan, tapi tak bisa menahan senyum kecil yang muncul di ujung bibirnya. Pesan yang dikirim pagi-pagi buta oleh Alverio ada yang berbeda dari cara pria itu mengirim pesan. Tidak terlalu gombal, tapi cukup ringan untuk membuat pagi jadi hangat.
Naya baru mengenal Alverio belum lama, tapi seiring berjalannya waktu, kedekatan antara Naya dan Alverio semakin tak terelakkan. Mereka mulai lebih sering berkirim pesan, hampir setiap hari, entah itu hanya menanyakan kabar atau diskusi ringan. Mereka bahkan sudah terbuka dengan hobi dan rencana masa depan masing-masing.
Naya
Kopi pahit biar sadar kalau kenyataan belum tentu sesuai ekspektasi. Kamu minum apa?
Alverio
Air putih aja. Lebih netral, kayak harapanku ke kamu. Wkwk.
Ia membalas dengan emoji tertawa, lalu meletakkan ponsel di meja dan bersiap mandi. Tidak ada percakapan yang panjang, tapi detiknya terasa menyenangkan. Ada bagian dalam dirinya yang tak ingin terlalu berharap, tapi juga tak bisa memungkiri—pesan dari seseorang yang belum lama dikenalnya itu mulai punya tempat.
Perasaan itu belum sempat ia beri nama. Tapi pagi ini, Naya merasa lebih ringan. Seolah hidup tak selalu harus soal persaingan CPNS, pengumuman yang belum pasti, atau tuntutan masa depan yang membingungkan.
Kadang, yang membuat hari terasa hidup adalah satu notifikasi kecil... dari seseorang yang entah sejak kapan jadi dinanti.
Seperti biasa, Naya kini sudah sampai di toko elektronik tempatnya bekerja. Ia berdiri di balik meja kasir toko elektronik tempatnya bekerja sementara. Tempat itu tidak besar—hanya lima rak berisi kabel, adaptor, lampu LED, dan berbagai peralatan rumah tangga modern yang kadang rusak hanya karena sekring kecil. Tapi, sejak pagi, wajah Naya tampak berbeda. Lebih cerah. Lebih hidup.
Kak Lila yang melihat pemandangan tak biasa itu sempat melirik sambil menyusun nota.
“Kamu abis menang undian ya, Naya?”
“Hah? Nggak...”
“Lha terus? Dari tadi senyum mulu. Takut customer kabur, ya?”
Naya hanya tertawa kecil. Ia tak menjelaskan apa-apa. Tak tahu juga harus mulai dari mana. Yang jelas, ponsel di sakunya tadi bergetar—lagi.
"Kamu kerja hari ini? Jangan bilang toko AC, nanti aku pura-pura nyari pendingin hati."
Ia menghela napas pelan. Senyum itu muncul lagi, tanpa diminta. Ia mencoba mengetik balasan sambil berdiri di balik etalase yang memantulkan bayangan wajahnya yang sumringah.
Naya
Toko elektronik. Tapi maaf, belum jual alat untuk perbaiki rayuan basi.
Alverio
Aduh, nyesek. Tapi nggak apa-apa. Asal kamu jangan beneran jual hati.
Kanaya
Lagi diskon 50%, minat?
Alverio
Diskon 50%? Nggak mau. Aku maunya utuh, Kanaya.
Kanaya
Kalau yang utuh bayarnya seumur hidup. Gimana dong?
Naya menutup layar ponselnya cepat-cepat setelah mengirim pesan tersebut, takut senyumnya keburu ketahuan. Tapi telat. Kak Lila sudah melirik lagi dari belakang rak display lampu emergency.
“Duh, semanis itu senyumnya. Jangan-jangan kamu lagi chatting sama mantan?”