Naya tiba di toko elektronik dengan semangat baru. Meskipun sedikit terlambat, senyum masih terpasang di wajahnya. Begitu memasuki toko, matanya langsung mencari-cari Kak Lila.
Ketika yang dicari akhirnya muncul dari ruang belakang, dia langsung mendekat ke Naya dengan ekspresi yang sedikit berbeda—seperti ada pertanyaan yang mengganjal di pikirannya.
"Jadi... gimana makan siangnya?" Kak Lila bertanya dengan nada menggoda, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
Naya langsung terkejut, dan tanpa sadar wajahnya memerah. "Maksud Kakak apa, ya, hehe?" jawabnya dengan sedikit canggung, berusaha menutupi perasaannya.
Kak Lila tertawa kecil. "Ya soal orang yang ngajak makan siang. Nggak bisa bohong, deh. Dari kemarin kamu kelihatan lebih ceria, lebih semangat. Ada apa? Apa itu karena Alverio?"
Naya mendesah pelan, lalu duduk di salah satu kursi di dekat meja kasir. "Sebenarnya... aku juga nggak tahu sih, Kak. Yang aku tahu, sejak ketemu Alverio, rasanya... hidup aku jadi lebih berwarna."
Kak Lila duduk di sebelahnya, memperhatikan Naya dengan penuh perhatian. "Maksudnya?"
Naya tersenyum kecil, sedikit merenung sebelum akhirnya mengeluarkan kata-kata yang sudah lama ada dalam pikirannya. "Menulis memang membuatku hidup, Kak. Tapi Alverio... dia menyempurnakannya. Dia seperti bagian yang hilang dari diriku. Ada sesuatu dalam diriku yang merasa utuh setiap kali kami ngobrol, bekerja sama, atau bahkan hanya sekedar bertukar ide."
Kak Lila semakin tertarik, matanya menatap penuh penasaran. "Jadi, kamu mulai... suka sama Alverio?"
Naya mengangguk perlahan, meskipun hati kecilnya masih ragu. "Aku rasa aku mulai menaruh hatiku di sana. Rasanya aneh, karena ini baru, dan aku nggak tahu harus gimana. Tapi aku nggak bisa mengabaikan perasaan itu."