Belok yang Membawaku Pulang

Vsiliya Rahma
Chapter #26

Bab 26 Rumah yang Membawaku Pulang

Waktu berjalan cepat, seperti air yang mengalir tenang di antara batu-batu kehidupan. Lima bulan setelah pertemuan pertama keluarga mereka, setelah diskusi, persiapan, dan saling menguatkan, Naya dan Alverio memutuskan untuk menikah.

Bukan pernikahan mewah, bukan pula yang penuh pesta gemerlap. Tapi hari itu, semuanya terasa cukup. Naya mengenakan kebaya sederhana berwarna gading, dengan rambut disanggul rapi oleh tangan kak Lila. Wajahnya cerah, penuh kebahagiaan, meskipun dia masih merasa sedikit terkejut oleh betapa cepatnya semuanya terjadi. Lima bulan yang lalu, dia hanya mengenal Alverio sebagai teman biasa, seseorang yang mengantarkannya pulang setelah ujian CPNS. Tidak pernah terlintas dalam benaknya bahwa suatu hari dia akan berdiri di sini, di hadapan orang-orang terdekat, sebagai pengantin.

Di ruangan lain, Alverio berdiri di depan cermin, mengenakan beskap berwarna senada. Tatapannya mantap, bibirnya mengulas senyum tipis penuh syukur. Alverio ingat dengan jelas bagaimana ia hanya menawarkan tumpangan pada Naya saat hujan deras, tanpa menyangka bahwa dari situ, hubungan mereka akan berkembang pesat. Mereka mulai sering bertemu, saling mendukung, dan akhirnya tumbuh menjadi sepasang kekasih yang kini akan resmi menjadi suami istri.

Prosesi akad berjalan khidmat. Di hadapan penghulu dan saksi, dengan satu tarikan napas yang penuh keyakinan, Alverio mengucapkan ijab kabul. Suara gemuruh kecil dari hadirin, lalu ucapan “sah” yang menggema, disambut haru di mata semua yang hadir—termasuk Naya yang tak kuasa menahan air mata.

Setelahnya, saat mereka duduk berdampingan sebagai suami istri, Alverio menoleh ke arah Naya dan berbisik, “Akhirnya, aku bisa bilang ini dengan sah... Selamat pagi, Bu Alverio.”

Alverio merasa ada sebuah perasaan damai yang mengalir dalam dirinya. Ini bukan hanya tentang pernikahan—ini adalah tentang perjalanan panjang yang mereka jalani bersama. Tangan Naya yang kini digenggamnya terasa begitu hangat, memberikan rasa aman yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Naya tertawa sambil mencubit pelan lengan suaminya. “Selamat pagi juga, Pak Kanaya.”

Tawa mereka mewarnai hari yang sederhana namun penuh makna. Pernikahan mereka bukan akhir dari cerita, tapi awal dari kisah baru—tentang dua orang yang saling mengisi, saling menunggu, dan pada akhirnya saling memilih.

Beberapa bulan kemudian, kehidupan pernikahan mereka masih berjalan dengan hangat dan penuh warna. Rumah kecil yang mereka tempati kini dipenuhi tawa, tumpukan buku, dan alat desain grafis yang tersebar rapi di sudut ruang kerja. Naya dan Alverio hidup dalam dunia mereka masing-masing, namun keduanya saling mendukung dan merayakan keberhasilan satu sama lain.

Alverio akhirnya berhasil menyelesaikan pembangunan studio desain dan percetakannya. Studio itu sederhana, namun nyaman dan penuh karakter. Berbekal koneksi dari proyek-proyek lamanya serta promosi dari mulut ke mulut, pelanggan mulai berdatangan—baik dari kalangan bisnis lokal, lembaga pendidikan, hingga komunitas kreatif yang tertarik dengan gaya desain khas milik Alverio. Ia selalu memastikan setiap karya yang keluar dari studionya membawa kepuasan bagi klien dan rasa bangga dalam dirinya. Studio miliknya ramai dan Alverio bahkan harus merekrut beberapa karyawan untuk membantunya.

Di sisi lain, Naya menjalani hari-harinya sebagai pengajar dengan penuh semangat. Ia menikmati setiap momen di kelas, berbagi ilmu dan semangat kepada murid-muridnya. Di luar jam mengajar, Naya juga aktif menulis dan menjadi pembicara di berbagai seminar kepenulisan. Namanya mulai dikenal di kalangan penulis muda dan komunitas sastra lokal.

Dan dalam beberapa kesempatan, ketika Naya tampil sebagai pembicara utama di seminar atau pelatihan menulis, Alverio kerap hadir diam-diam. Ia duduk di antara para peserta, memperhatikan dengan mata penuh kebanggaan saat Naya menjelaskan materi, menjawab pertanyaan, atau membacakan cuplikan dari tulisannya. Ia menyukai caranya berbicara dengan tenang namun penuh keyakinan. Ia menyukai tatapan para peserta yang terpukau oleh istrinya—sama seperti ia dulu, saat pertama kali mendengar Naya bercerita tentang mimpi-mimpinya.

Selepas acara, Alverio akan menghampirinya, menyalami seperti peserta lain, lalu berkata pelan di telinganya, "Aku nggak nyangka bisa nikah sama narasumber favoritku."

Naya hanya tertawa, memukul pelan lengan Alverio, tapi rona bahagia di wajahnya tak bisa disembunyikan.

Mereka memang sibuk, tapi mereka bahagia. Dalam hidup yang terus bergerak cepat, Naya dan Alverio selalu menyempatkan waktu untuk kembali pada satu sama lain—entah itu dalam perjalanan singkat, obrolan di meja makan, atau hanya duduk berdampingan sambil saling bercerita tentang hari yang telah mereka lewati.

Lihat selengkapnya