Pukul 04.30 pagi.
Seharusnya, aroma rempah dan kaldu tulang sapi sudah sampai ke kamar anaknya, dan Cori seharusnya muncul sebentar lagi. Sebab, hanya dua hal yang bisa membangunkan putrinya: alarm dan bau masakannya.
"Papa masak sup, ya? Harum banget. Masa lagi salat perutku lapar?"
Si anak tunggal akhirnya muncul. Sudjana tersenyum amat lebar karena prediksinya as always, selalu benar.
"Mau sarapan sekarang atau nanti?"
"Sekarang," jawabnya tanpa pikir panjang. Cori langsung mengambil tempat di meja makan.
Cori melirik papanya telah berpakaian rapi dengan kemeja lengan pendek dan celana bahan. Ah, super dad-nya sudah siap berangkat ke hotel. Meski hidup papanya lebih banyak didedikasikan untuk hotel, tapi ia tahu Sudjana akan selalu menyisihkan waktu demi dirinya.
"Pa, kalau udah gede nanti Cori mau suami kayak Papa. Papa tuh bisa semuanya. Jadi ibu bisa, jadi ayah apalagi."
Sudjana terkekeh dan sendu di saat yang sama. Pujian itu menohok jantungnya. Ia bisa menjadi ibu bagi Cori bukan karena hebat, tapi karena sebuah keterpaksaan. Tidak mudah membuat diri menjadi sosok ibu artifisial sedangkan Tuhan menciptakannya sebagai lelaki dengan title orang tua tunggal.
Daripada berlarut dalam kesedihan, lebih baik ia fokus pada masa sekarang. Misalnya, memastikan Cori bahagia dan sehat dengan makan masakannya yang TKTP (tinggi kalori tinggi protein), diet bagus untuk remaja yang sedang bertumbuh.
Panci mengepul berisi sup daging penuh kaldu dengan rasa fantastis teronggok apik di hadapan Cori. Air liurnya sudah menetes.
"Anak Papa masih 15 tahun. Belum waktunya memikirkan itu. Yang penting sekolah yang bener. Ingat lho, tahun depan sudah mau kuliah. Terus kerja. Baru mikirin nikah."
Tahun depan sudah mau kuliah? Iya. Soalnya ini tahun kedua Cori ikut kelas akselerasi di SMA. Cori memang sepintar itu.
Namun, alasan yang tersembunyi di balik alasan kuliah dan kerja hanya satu, Sudjana belum siap bila anak gadisnya mulai mengenal laki-laki, bergaul bebas, dan melakukan hal-hal tabu yang dapat merusak masa depannya kelak.
"Elaaah, kan Cori cuma kasih tahu kriteria, Pa. Siapa juga yang mau nikah? Pacaran aja nggak pernah."
"Nggak boleh pacaran!"
Cori cepat-cepat mendongak dari mangkuk sup yang tadi diisi Papanya. Suara barusan terdengar beda di telinganya pagi ini.
"Memangnya kenapa?"
"Kamu masih kecil. Cinta-cintaan belum perlu, Nak. Apa lagi pacaran." ujar Sudjana lebih lembut. "Kalau sudah dewasa, sudah mengerti tentang cinta dengan lawan jenis, dan kamu sudah siap lahir batin, maka menikahlah. Papa akan izinkan. Sekarang? Tidak boleh pacaran, Anak Muda!" Suara si chef hotel kembali tegas.
Diam-diam gadis itu memutar bola matanya.
Papa nggak tahu, sih, nggak ada yang suka sama Cori di sekolah, protes Cori di kepalanya.
Karena Cori masih belum bersuara, Sudjana mengulang sekali lagi. "Mengerti, Nak?"
"Eh? Iya. Mengerti Papa."
"Bagus. Tambah dagingnya, Nak."
"Tanpa disuruh, Cori bakal nambah. He-he." Sudjana tersenyum puas.
Setelah sarapan, Cori mengantar Papanya ke mobil, kegiatan yang biasa mereka lakukan sejak Cori mulai berangkat ke sekolah sendirian.
"Hati-hati ya, Pa."
"Ya. Makasih doanya. Nak?"
"Apa, Pa?"
"Kalau ada yang suka mengolok kamu, lakukan tiga cara ini. Pertama, abaikan. Sebab semakin kamu lawan, semakin senang mereka mengerjai kamu."
Cori mengangguk antusias, seakan papanya tahu apa yang selalu ia alami di sekolah.
"Kedua, bila mereka terus mengganggumu, tanyakan dengan lantang, 'Apa? Kamu tadi bicara apa?' Suruh mereka mengulangi pertanyaan atau pernyataan yang mereka ucapkan beberapa kali."
"Buat apa?"
"Supaya mereka mulai tidak nyaman dengan candaan kelewatan mereka."
"Oke. Yang ketiga?"