Ben berjalan jongkok bak jalannya maling TV yang baru ditangkap polisi. Sudah berapa lama dia seperti ini? Sepuluh? Lima belas menit? Tak tahu waktu lagi, Ben.
Matahari siang ini benar-benar tidak membantunya sama sekali. Kulitnya memerah karena terbakar panas matahari. Seragamnya basah oleh keringat, tapi cincin yang ia cari masih tak tahu rimbanya.
"Astaga! Si Ketumbar." Tak sampai sedetik, Ben menepuk mulutnya. Ia berdoa si Cewek Ketumbar tidak mendengarnya. Ben tidak mau disamakan derajatnya dengan tukang rundung. Bisa hancur harga dirinya.
Persis seperti dirinya, si Cewek Ketumbar juga berjalan jongkok di tengah lapangan. Namun, Ben tidak mau cewek itu berlama-lama memanggang dirinya.
"Hei." Tepukan lembut mendarat di bahu Cori.
"Ya, Kak?" jawabnya tanpa menoleh. Sebab matanya sedang berusaha menemukan benda berkilat itu.
"Istirahat dulu di sana." Ben menunjuk deretan pohon Mahoni di pinggir lapangan.
"Tanggung."
"Gue juga mau istirahat."
"Istirahat aja duluan."
Astaga. Cewek ini keras kepala, dumel Ben dalam hati.
"Ya udah. Tunggu di sini. Jangan ke mana-mana!"
Akhirnya Cori mendongak kemudian berdiri. "Aku juga nggak tahu mesti ke mana. Ini kali pertamaku bolos," ucapnya tanpa bersalah.
"Selama lo sekolah?"
"Iya."
Ben bertepuk tangan. Ceritanya memberi selebrasi kecil-kecilan untuk si Cewek Ketumbar.
"Bagus. Lo harus rasain gimana rasanya bolos, biar bisa lo ceritain lagi ke anak cucu lo. Masa mau jadi siswa baik-baik mulu?" Ben terkekeh.
Astaga, Ben. Apa ia tidak sadar sedang memberi apresiasi pada tindakan yang salah?
Ben sadar, kok. Dia hanya ingin memberi Cori selamat atas tindakannya yang 'nekat'.
"Hm, bener juga, ya?" Cori tersenyum lebar menyetujui ide barusan.
Lagi-lagi Ben terpana. Karena merasa aneh, cepat-cepat ia gelengkan kepala.
"Gu-gue ke kantin. Kalo ada guru lewat, ngumpet aja. Oke!" Ben segera pergi tanpa menunggu respon si Cewek Ketumbar.
Dalam sepuluh menit, Ben muncul lagi di lapangan basket dengan membawa minuman soda dingin dalam plastik. Apa yang dilihatnya? Si Cewek Ketumbar masih menyisir lapangan basket!
Ben tahu cincin itu amat berharga, tapi tidak lantas membuat Ben tega membiarkan seorang cewek panas-panasan demi mencari barang kepunyaannya. Dan demi Tuhan! Ben tidak tahu nama cewek itu!
"Hei. Minum dulu."
"Tunggu seben-"
Dalam sekali sentakan, si Cewek Ketumbar dipaksa berdiri.
"Eeeh, aku mau diapain?"
Tanpa diberi waktu untuk memroses apa yang terjadi, tangan Cori ditarik dan diseret untuk duduk di hamparan rumput di bawah naungan mahoni raksasa.
"Nih, buat lo."
"Wah! Makasih, Kak." Dalam hitungan detik, Cori menyedot isi plastik hingga tersisa sedikit.
Diam-diam Ben tersenyum.
"Gue nggak tahu nama lo." Selain panggilan Ketumbar, sambung Ben dalam hatinya.
"Ya ampun! Iya, ya?" Cori terkekeh. "Nama, ya?"
Cori tertarik untuk melihat sesuatu dari kakak kelasnya. Apa ia akan sama saja dengan teman-teman sekelasnya? Cori akan segera mengetahuinya.
"Namaku Coriander. Tapi kalau Kakak mau memanggilku Cori juga boleh. Kepanjangan kalau Kakak mesti panggil aku, Coriander, Coriander." Cori tertawa kecil.
Ben menaikkan kedua alisnya spontan. Ia akhirnya paham mengapa bacot-bacot tempo hari meledekinya ketumbar.
"Gue Ben."
Cori juga meniru polah Ben dengan menaikkan kedua alisnya.
Dia enggak mau ngetawain namaku, gitu? Hm ... menarik.