Ben & Cori

Steffi Adelin
Chapter #4

Hangout

"Pa, kapan kita ke makam Mama lagi?"

Pertanyaan ini menggemuruhkan dadanya, membuat adukan spatula Sudjana terhenti beberapa detik. Tak sampai di situ, pertanyaan lain membikin pria paruh baya itu makin tidak berdaya.

"Masa cuma sekali? Itupun kata Papa waktu usia Cori 2 tahun. Mana Cori ingat, Pa."

Sudjana berlagak tenang saat kembali mengaduk lipat adonan cheese cake kesukaan putrinya, demi menyamarkan tangannya yang tiba-tiba tremor.

"Kamu tahu, kan, pekerjaan Papa almost twenty four-seven, Nak. Kalau kita ke kampung halaman Mutia, Papa butuh cuti panjang. Papa belum bisa sekarang ini. Apalagi holiday season akan datang. Hotel akan sangat-sangat sibuk."

Apapun akan dilakukan untuk membuat anak gadis satu-satunya bahagia. Namun, mengunjungi makam Mutia? Sepertinya Sudjana terjebak dengan perkataannya sendiri.

"Cori kangen. At least, Cori mau bersihin makam Mama."

Tidak! Sudjana tidak menyukai menyaksikan anaknya berubah murung. Pria itu meninggalkan adonan tadi terbengkalai di atas meja dan segera duduk di sisi putrinya. Sudjana ingin memandang wajah putrinya dari dekat, mencoba menebak isi kepala gadis remaja yang sedang bermuram durja ini.

"Kamu tahu, salah satu bentuk bakti seorang anak pada orang tuanya yang telah meninggal adalah menjadi anak soleh dan terus mendoakannya."

"Cori tahu. Bu guru agama yang mengajarkannya."

"Good girl." Sudjana membelai rambut lurus anaknya dengan cinta. "Jadi untuk sekarang, terus doakan Mama Mutia. Mengerti ya, Coriander?"

"Baiklah. Tapi Papa harus berusaha untuk mengosongkan waktu.

"I'll try my best, Nak."

"Terima kasih, Pa."

Ia sendiri meragukan janjinya barusan. Sudjana serasa terkena serangan jantung dengan permohonan sederhana putrinya.

"Pa, Papa pernah kangen Mama?"

"Every single day," ucap Sudjana pasti.

"Me too. Kadang Cori suka khayalin Mama sama Cori jalan-jalan ke mal, beli baju, belajar makeup, sampai ajarin Cori bikin kue. Mama pasti akan ajarin Cori baking, kan, Pa?"

"Tentu. Mamamu adalah murid terpintar waktu di akademi. Hasil kue buatan Tia selalu menakjubkan," puji Sudjana sambil menerawang ke atas kepala anaknya.

Cori membuntuti ke mana arah mata papanya menyasar. Ternyata ke foto mamanya di dinding yang memakai coat chef putih. Mutia sedang tertawa, seakan menertawai kesepian keluarga kecil itu.

Tapi, mengapa wajah Papa ... sendu? pikir Cori. 

"Pa."

"Ya?"

"Cori tahu Cori belum cukup dewasa untuk mengatakan ini, tapi ...." Gadis itu sampai menggigit bibir bawahnya sangat kuat karena tiba-tiba dilanda grogi.

"Papa pernah bilang bahwa kita harus saling terbuka. Kita hanya punya satu sama lain untuk berbagi. So, tell me, apa yang ada dalam kepalamu, Nak?"

"Tapi Papa jangan marah, ya?" tuntut Cori.

Menatap wajah anaknya yang memerah malah mengundang tawa Sudjana.

"Papa nggak bisa marah karena belum ada satu pernyataan pun yang membuat Papa marah."

Masuk akal, sih, pikir Cori.

"Pa, iyain Cori langsung apa salahnya, sih?"

Sudjana terkekeh kecil. "Oke, oke. Papa ndak akan marah. I promise."

"Do I have your word, Pa?" tuntut Cori super serius.

"You have my word."

"Cori ... nggak mau Papa kesepian."

Sudjana diam, menanti ke mana pembicaraan ini akan bermuara.

"Kalau Papa mau ... menikah lagi, Cori nggak akan marah," ucap Cori pelan.

Sebelum menjawab, Sudjana memberikan senyum yang membuat Cori berpikir bahwa papanya tidak akan memarahinya.

Lihat selengkapnya