Ben & Cori

Steffi Adelin
Chapter #5

Arti Sebuah Rumah dan Perpisahan Tanpa Selamat Tinggal

Seharusnya sebuah rumah menjadi tempat paling hangat, nyaman, dan aman bagi semua anggota keluarga. Apalagi bagi seorang anak yang masih memerlukan bimbingan, kekuatan, dan bekal menghadapi kejamnya dunia sebenarnya.

Seharusnya, figur pertama yang harus mengayomi dan membuat seorang anak yakin melangkah dengan percaya diri untuk memulai petualangan dirinya di tengah masyarakat asing adalah orang tua mereka sendiri.

Dan seharusnya, bagi seorang anak rumah adalah tempat pulang, bukan tempat menakutkan seperti rumah hantu di pasar malam.

Ben telah menemukan ketakutannya. Setiap pulang sekolah, napasnya sesak, perasaan tidak nyaman selalu muncul bila mobil sang Ayah mencapai halaman rumah mereka. Bahkan suara mesinnya saja sudah membuat dirinya was-was. Otomatis ia langsung merancang entah pertengkaran apa lagi yang akan diributkan hari ini.

Setelah pengakuan Bonita tempo hari, pertengkaran demi pertengkaran terkuak ke permukaan bumi. Riak nan tenang telah menjadi gelombang pasang yang menghanyutkan jiwa yang terombang-ambing di rumah yang seharusnya damai.

Ben jadi benci pulang ke rumah. Dan yang lebih Ben benci adalah kedua orang tuanya. Mengapa menikah kalau hanya untuk bertengkar? Apa mereka tidak memikirkan perasaan anak-anak mereka? Orang-orang dewasa itu ... makhluk paling egois di muka bumi. Namun, di penghujung hari, Ben tidak mampu sungguh-sungguh membenci orang tuanya. Kasih sayang Ben untuk mereka tak bisa tenggelam begitu saja. Ia tetap menyayangi mereka sampai kapan pun.

Dari hasil pertengkaran itu, kadang Ben memergoki Popy mengambil es batu dari freezer untuk ditempel ke matanya. Kemudian Ben bermain pura-pura bodoh dengan berkata, "Bunda, Ben mau dibuatin omelet keju."

Detik berikutnya, Ben mengakui ia memang bodoh. Ingin ia gigit lidahnya sampai putus setelah permintaan konyol tadi terucap. Bukan itu yang ingin ia katakan. Ben ingin menghibur sang Bunda. Ben ingin hadir menjadi 'teman' agar perasaan Popy sedikit lebih baik, bukan malah merepotkannya.

Justru yang Ben dapatkan adalah senyum Popy yang terkembang sempurna, menampilkan lesung pipi yang menurun padanya dan mengatakan, "Daripada omelet, bagaimana kalau kita makan piza? Bunda lagi capek masak. Bangunin Boni ya, Bang. Terus siap-siap pergi." Lalu Ben ditinggal sendiri untuk mencerna apa yang ia dengar barusan.

Hati remaja itu teriris sembilu. 

***

Di suatu minggu sore yang cerah, Popy menyibukkan diri membersihkan halaman rumahnya. Beberapa saat kemudian ia baru menyadari dirinya tidak kepanasan atau silau karena cahaya matahari, sebab ada sebuah bayangan yang menaunginya.

"Nak, ngapain pake payung segala?" ucapnya heran. Kepalanya mendongak ke si Tukang Payung.

"Ya payungin Bunda." Popy terkekeh dan meneruskan memotong rumput liar.

"Makasih."

Ben kemudian ikut jongkok, bersisian dengan Popy.

"Ben sering mergokin Bunda bertengkar sama Ayah."

Seketika tangannya berhenti bekerja menggerakkan gunting rumput dan menghembuskan napas lelah.

"Bunda juga nggak banyak berharap pertengkaran kami tertutup rapat dari kalian. Suatu saat pasti akan ketahuan, kan?"

Lalu Popy melanjutkan pekerjaannya seakan pembicaraan pertengkarannya dengan suaminya bukan hal besar.

"Kok Bunda santai aja, sih? Kok Bunda mau aja dibikin nangis sama Ayah? Bunda pikir Ben terima aja, gitu? Ben sakit hati lihat Bunda sedih! Ayah harus minta maaf karena bikin Bunda nangis!" Bergetar suara Ben menahan gejolak emosi yang sudah lama tertahan di dada. Tangannya sampai gemetar meremas gagang payung.

Popy melepas sarung tangan berkebunnya dan menggenggam tangan Ben yang buku-bukunya mulai memutih.

"Duh, gemesnya lihat anak Bunda membela Bunda. Terus jadi gentleman seperti ini, ya?"

Ben memutar bola matanya dramatis.

"Nggak ada hubungannya, Bun. Ben mau Bunda melawan Ayah. Jangan mau disakitin Ayah terus! Bunda pikir hati Ben tenang lihat Bunda stres dengan mata sembab hampir tiap hari? Ben harus bicara sama Ayah!"

Lihat selengkapnya