Cori dilanda gundah karena sebuah undangan reuni SMA masuk ke ponselnya sejak beberapa hari yang lalu. Kelabat memori indah dan memori yang ingin ia lupakan muncul silih berganti dalam benaknya.
Perundungan dan kesepian adalah dua dari sekian banyak hal yang ingin ia lupakan. Namun, ada satu hal yang tak mudah pudar dalam ingatannya: Ben.
Ah, Ben. Namanya terus berputar-putar di kepalanya seperti carousel.
Dua kata kunci yang selalu ia ingat akan cowok itu: menyenangkan dan menghilang.
"Apa dia masih ingat aku? Di mana dia sekarang?" Ia bermonolog di kamarnya.
Tidak hanya pesawat yang hilang kontak, Cori dan Ben juga.
Tangannya meremas bandul kalung yang tersimpan dari balik baju tidurnya, membuat Cori mendesah pelan.
“Nggak apa-apa aku simpan, kan?" tanyanya pada bayangannya sendiri di cermin untuk kesekian ribu kali dalam kurun waktu 12 tahun terakhir.
Detik berikutnya, ia menjawab pertanyaannya sendiri. “Nggak apa-apa. Aku cuma nyimpen, bukan memiliki, kok.” Dan jawaban itu telah ia ulang pula untuk kesekian ribu kali.
Lagi-lagi Cori mendesah.
Cori tidak tahu apa-apa tentang Ben kecuali informasi dasar seperti namanya Benjamin dan dia adalah ketua OSIS yang tiba-tiba pindah sekolah tanpa informasi jelas ke mana dia pergi. Dia adalah orang pertama yang tulus berteman dengannya. Dan yang paling penting adalah Ben tidak pernah mengejek namanya. Nomor telepon, nomor HP, alamat rumah, alamat email, apalagi akun media sosial? Tak satu pun di antara mereka terpikir untuk saling bertukar informasi pribadi semacam itu. Karena, siapa yang menyangka cowok itu menghilang di pertemanannya yang baru berlangsung beberapa hari?
Baiklah. Lupakan soal Ben yang entah di mana. Cori memilih memikirkan bakal secanggung apa dia nanti kalau datang ke reuni.
Temannya bisa dihitung sebelah tangan dari list yang datang. Salah satunya adalah seorang kakak kelas yang sama-sama mengikuti olimpiade matematika. Penggemblengan selama dua minggu dalam program persiapan olimpiadelah yang mendekatkan mereka. Dan Cori bersyukur akan hal itu. Satu lebih baik daripada banyak tapi tidak tulus, kan?
Sebuah ID Caller muncul di layar ponsel membuat Cori tersenyum mendamba. Ia mengenyampingkan ingatan 12 tahun yang lalu dan menukarnya dengan membayangkan wajah seseorang yang meneleponnya.
"Malam, Cantik," kata suara itu dari ponselnya.
Cori tak tahan bila dipuji seperti itu. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat sebelum bicara.
"Mas Arga."
"Sayang, Mas kangen."
Sebelum menjawab, Cori harus menahan ledakan rindu yang terproyeksi lewat senyumnya yang super lebar. Untung Arga tidak ada di depannya.
"Aku juga," katanya dengan nada yang dibuat sewajarnya. Padahal ia ingin sekali berteriak memuja kekasihnya dengan mengatakan, AKU KANGEN BERAT! L"Udah sampai di Batam?"
"Baru aja. Makanya Mas langsung telepon kamu."
Cori berteriak histeris tanpa suara sambil membekap mulutnya. Cori sungguh tergila-gila dengan pria ini!
"Untung Mas nelepon. Aku lagi bingung." Suaranya dibuat seperti anak kecil. Cori berubah manja secepat kedipan mata.
"Bingung kenapa, hm?"
"Aku masih ragu pergi atau enggak ke acara reuni SMA."