Ben & Cori

Steffi Adelin
Chapter #8

Tak Berdaya

"Plis Win, ajarin gue pake makeup," mohon Cori pada seseorang yang wajahnya memenuhi layar ponselnya.

"Cieee, yang mau pergi reunian. Ati-ati, Kak. Biasanya reuni SMA punya kutukan CLBK. Kalau nggak CLBK ya, tempat cari jodoh. Ha ha ha." Winnie tertawa terbahak-bahak, membuat Cori meringis malu.

Posisi Winnie memang kasir, dan walaupun terjadi kejomplangan sosial jika dilihat dari segi usia, jabatan, hingga gaji, tapi persahabatan mereka melebihi semua itu. Mereka saling memahami, saling mengerti, dan berusaha untuk ada satu sama lain. Hal berharga semacam ini tidak Cori dapat dari teman-teman sejawatnya yang lain di kantor.

"Mas Arga nggak tergantikan. Lagian, mau CLBK sama siapa? Gue nggak punya pacar waktu di SMA."

Winnie mencebik mual. "Diiih, cinta mati, dia. Iya deh, iya. Gue doain semoga lo langgeng dan enggak akan tergoda sama gebetan waktu di SMA."

"Gebetan? Mana ada."

"Maca, ciii?" goda Winnie penuh kemenangan.

"Enggak ada. Period. Titik. Cepetaaan mulai tutorialnya."

Winnie tidak tahan untuk terbahak-bahak. Setelah tawanya habis, barulah ia mulai bicara lagi. "Lo udah siapin kosmetik yang gue chat tempo hari kan, Kak?"

"Udah. Gimana cara pakenya? Gue nggak ngerti."

Kening Cori mengkerut memandang concealer, eye shadow, blush on, dan benda-benda asing lainnya. Habisnya, saban hari Cori cuma pakai pelembab, sunscreen, dan bedak tabur. Last but not least, lipbam yang ada warna dan aroma buah.

Winnie berubah serius setelah melihat wajah rekan kerjanya tampak tersesat. Maka ia hadir untuk menuntun Cori ke jalan yang benar.

“Oke. Tutorial hari ini gue beri judul, ‘No Makeup Makeup Look’. Dijamin cocok ama muka flawless Kakak."

Dan mulailah praktik daring instan ala Winnie. 

Cori ingin tampil cantik hari ini. Siapa tahu ia bisa terbiasa dengan semua alat-alat kecantikan yang baru dibelinya. Bosan juga bila selalu dijadikan sasaran tertawaan Moza terus-menerus.

Dan sejujurnya, ia sendiri tertekan dengan pernyataan judgmental yang dibuatnya, bahwa selama ini hidupnya tak pernah diinginkan, tak pernah diharapkan. Akibatnya, tanpa pikir panjang Cori menjerumuskan dirinya dalam makanan tinggi kalori demi melupakan pikiran-pikiran itu. Dengan kata lain, makan adalah cara Cori 'melarikan diri'.

Dalam pelariannya, ia tergulung gelombang kesedihan dan keterpurukan hingga Cori lupa, bahwa kebiasaan buruk itu telah mengubah pola pikir dan emosinya. Dan tentu saja tubuhnya.

Padahal kebahagiaan makanan enak hanya sampai di tenggorokan. Lewat dari itu, sebagian diserap tubuh, sebagian lagi menghilang di balik kloset kamar mandi. Ah, kebahagiaan fatamorgana. 

Moza benar. Ia harus mulai berdiet. Tapi sebelum berdiet, mungkin perubahannya bisa dimulai dengan memermak wajah bulatnya.

***

Beberapa tahapan skincare dan makeup nan panjang kemudian .... 

Siapa perempuan itu? Kenapa dia terlihat sangat ... cantik? batinnya saat menatap cermin. Pandangannya langsung mengabur dengan air mata.

"Kak Coriiii. Lo kenapa, sih?" Winnie mulai cemas.

"Gue cantik, Win," ucapnya bergetar sambil hati-hati menahan air mata yang mau meluncur.

"Lha, elo baru tahu, Kak? Ke mana aja selama ini?"

Dua wanita beda empat tahun itu tertawa lepas.

Namun, tawa Cori menghilang secepat menghilangnya gaji di rekening setelah membaca pesan pop up di layar ponselnya.

Mas Arga

Sayang, Mas minta maaf ya nggak bisa temenin kamu hari ini. Ibu mendadak minta ditemenin ke Tanjung Pinang.

***

Lihat selengkapnya