Kantor Cabang Mega Legenda tengah 'diobrak-abrik' sampai malam oleh para auditor yang tak kenal ampun: Farida dan Ben!
Mengapa diobrak-abrik? Kesannya kok pekerjaan auditor itu menyeramkan dan momok yang menakutkan bagi karyawan PT. Sejahtera Bersama? Itu karena tugas auditor adalah memburu kesalahan yang dibuat oleh semua personal yang bertugas dalam suatu unit atau cabang, mau dia kepala cabang, penaksir, kasir, hingga petugas marketing. Selain itu, auditor akan membongkar semua dokumen operasional selama tiga bulan ke belakang dan memastikan segala pencatatan transaksi berjalan sesuai SOP (Standard Operating Procedure). Dari sana juga bisa terlihat apakah sebuah transaksi terindikasi fraud alias curang atau tidak. Lalu auditor juga yang memeriksa, menghitung dan memastikan keaslian ratusan hingga ribuan barang berharga berupa emas murni dan perhiasan yang diagunkan nasabah. Begitulah sekelumit pekerjaan Ben dan Farida.
Namun, tujuan sebuah kantor diperiksa tentu untuk kebaikan semua pihak, supaya perusahaan berjalan sesuai prosedur yang sudah ditetapkan, meminimalisir kesalahan, menjauhkan diri dari kecurangan, dan menjaga performa pekerjaan tetap on track.
Berhubung kantor cabang Mega Legenda sedang diaudit, semua kru cabang wajib berada di tempat demi membersamai para auditor memeriksa pekerjaan mereka. Dan Cori sebagai penaksir ditunjuk Yusuf untuk mendampingi Ben dan Farida bekerja.
Ngomong-ngomong, Cori adalah penaksir andalan PT. Sejahtera Bersama cabang Mega Legenda. Tugas Cori adalah menaksir atau memperkirakan nilai barang berharga para nasabah sehingga bisa ditukarkan dengan sejumlah uang. Kadang karena title jabatannya, Cori sering mendapatkan pertanyaan ini: Mbak, bisa menaksir kadar cintaku padamu?
Eaaak.
Perjalanan Cori menjadi penaksir dimulai setelah ia merampungkan pekerjaannya sebagai karyawan paruh waktu di restoran Sudjana selama beberapa tahun.
Sudjanalah yang merekomendasikan Cori bekerja di restorannya. Alasannya: Cori masih terlalu dini untuk bekerja. Namun, alasan sebenarnya adalah ia tidak mau Cori berjauhan darinya. Demi Tuhan. Saat itu Cori baru berusia 19 tahun dan baru tamat kuliah.
Setelah mendapat bekal yang cukup tentang dunia kerja, barulah Sudjana mengizinkan Cori melamar pekerjaan di tempat lain. Sudjana mesti gigit jari ketika Cori diterima di PT. Sejahtera Bersama—sebuah perusahaan plat merah—dengan peraturan horor: Bersedia ditempatkan di seluruh cabang PT. Sejahtera Bersama se-Indonesia. Ia harus rela berpisah dari sang anak semata wayang.
Jiwa protektif Sudjana makin meronta-ronta semenjak Cori mendapat surat mutasi ke Batam setahun yang lalu. Di antara bentuk rindu dan protektif Sudjana adalah selalu menjalin komunikasi dengan si anak kesayangan setiap waktu, seperti malam ini.
"Pa, nanti aja teleponnya. Cori lagi sibuk nih, ya?" mohon Cori setengah kesal. Atas permintaan Ben, ia sedang mencari sebuah dokumen perjanjian dengan nasabah yang dengan sopannya menghilang ketika ia tengah dibutuhkan. Cori memang penaksir kompeten, tapi dengan menghilangnya sebuah dokumen, ia jadi mempertanyakan kompetensinya sebagai penaksir yang baik. Cori kesal pada dirinya.
"Kamu tega biarin Papa ndak ada kabar? Sekarang sudah pukul delapan malam, Nak. Kamu membuat Papa menunggu kabar dari anak Papa satu-satunya seperti orang gila."
Suara sedih dan putus asa papanya merambat ke kupingnya, membuat Cori menyesal untuk kesal. Lagian, kesal dengan orang tua? Ia tidak mau itu terjadi.
Tepat ketika Cori sedang menghembuskan napas lelah, Ben masuk ke ruang arsip dan mendapati punggung tetangganya membungkuk sambil menautkan satu tangan di pinggang.
"Pa, Cori masih di kantor. Lagi nyari fail hilang," katanya lebih lembut. "Makanya Cori ... kelupaan menghubungi Papa. Maaf, Pa."
"Ada barang hilang? Jangan panik. Cari dengan tenang. Kalau kamu panik makin memperburuk keadaan," nasihat Sudjana. Cemasnya tadi langsung berganti menjadi menyemangati anaknya. "Kalau perlu cuci muka, tenangkan diri, lalu cari lagi. Mengerti, Nak?"
Ah, papanya memang selalu bisa diandalkan. Cori mendapatkan booster semangat dari suara si Super Dad.
"Iya, Pa. Cori akan cari dengan hati tenang."
"Bagus. Pulang dijemput Arga, kan?"
Gadis itu menggigit bibirnya sebelum menjawab pertanyaan sulit ini. "Cori kayaknya pulang sama ojek online, Pa. Mas Arga nggak bisa jemput."
"Lha, ke mana dia? Apa perlu Papa telepon dia untuk jemput kamu?"
Panik dong, Cori. "Eeh, nggak perlu, Pa! Mas Arga lagi nugas di luar Batam. Jangan ganggu dia," jawabnya asal.
Tubuhnya langsung lemah tak bertenaga dan meluruh ke lantai. Cori jongkok, menunduk memandang nanar ujung sendal jepitnya. FYI, Yusuf tidak pernah mempermasalahkan karyawannya tidak memakai sepatu kerja di luar jam kerja, seperti malam ini.
"Lalu kamu pulangnya bagaimana? Masa naik ojek malam-malam begini?"
"Nggak apa-apa, Pa. Cori udah biasa ngojek sendiri."
Sebuah sentuhan lembut di bahu membuat Cori terperanjat dan menoleh cepat. Kekagetannya mereda saat tahu siapa pelakunya.
Ben ikut bergabung dengan Cori di lantai lalu berbisik, "Bilang ke Papa, aku yang antar kamu pulang."
"Pulang sama Winnie aja. Bisa, kan?" Sudjana menyambung.