"Aku tidak peduli masa lalumu. Aku juga tidak peduli bentuk tubuhmu. Yang aku pedulikan adalah hatiku memilih kamu. Aku mencintaimu, Cori."
Untaian kalimat itulah yang membuat Cori bertekuk lutut pada Arga tiga tahun yang lalu. Ia merasa diinginkan. Ia merasa diterima. Dan Cori merasa dicintai sehingga ia tanpa ragu menerima Arga sebagai kekasihnya. Sejak saat itu, Cori mulai membangun sebuah mimpi sederhana: keluarga kecil bahagia di mana ada ia, Arga, dan mungkin seorang anak atau dua, tanpa khawatir akan ditinggalkan atau meninggalkan.
Demi Tuhan, Cori pikir ia tidak akan ditinggalkan sebagaimana ia ditinggalkan oleh ibunya.
Mimpi itu, sudah pecah berkeping-keping.
"Haaah."
Desahan yang menggema di kamar mandi kantor hanya membuat beban di dadanya semakin berat. Cori menenggelamkan wajahnya di kedua telapak tangan sambil mengasihi hidupnya yang, ibarat kopi espreso: pahit!
Kelabat memori indah itu kembali muncul di otaknya yang lelah setelah pesan WhatsApp bertubi-tubi dari Arga masuk tadi pagi.
Cori ingat, kata-kata manis itu Arga ucapkan ketika mereka sama-sama masih bernaung di bawah langit Jakarta. Yang membuat Cori tambah yakin pada tulusnya Arga adalah, pria itu menyusulnya ke Batam! Arga rela mengurus permohonan izin pindah pada atasannya demi dia, agar mereka tak terpisah jarak.
Bagaimana hati Cori tidak akan luluh dibuatnya ketika sosok tampan yang digilai wanita-wanita cantik dan sempurna mau berkorban demi dia yang ... tak sempurna?
Dibilang cantik? Biasa saja.
Gendut? Iya banget.
Lalu apa kelebihannya? Mungkin lemak di lengan, perut, dan paha.
Pahitnya, Arga berselingkuh dengan sosok sempurna seperti Riri. Ah, berarti konsep yang ia bangun dalam pikirannya selama ini memang benar. Ia memang wanita yang tak sempurna dan tak pantas untuk siapa pun. Ketinggian bila ia bermimpi bahwa dirinya dicintai dengan tulus.
Sekali lagi. Mimpi itu, berderai dan ... usai.
Cori kembali membaca pesan Arga.
Sayang, kenapa sih kamu tiba-tiba nggak mau angkat telepon Mas? Kenapa kamu nggak mau ketemu Mas? Mas salah apa?
Cori, Mas kangen ....
Please Cori, angkat telepon Mas.
"Aaargh," pekiknya tertahan. Antara sebal dan kesal.
"Aku ... juga kangen Mas Arga," bisiknya. "Mas Arga jahat!"
Mood-nya terjun bebas pagi ini. Padahal hari terakhir pemeriksaan oleh auditor adalah hari paling sibuk sedunia. Cori memerlukan dirinya yang seratus persen fokus untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan Farida yang tak berkesudahan mengenai operasional kantor cabang, ataupun permintaan Ben untuk mengambilkan barang ini atau menanyakan barang itu padanya.
Pesan Arga membuat dirinya tidak seratus persen lagi. Minus, mungkin?
Nasihat Ben tentang menghadapi Arga terus terngiang dalam benaknya. Cori tidak bisa mengelak lagi walaupun sakit hatinya tak kunjung terobati.
Maka Cori pun mengirim pesan:
Aku sedang sibuk. Kalau mau bicara, tunggu setelah jam kerjaku berakhir.
***
Di saat Cori mengawasi Ben menghitung barang jaminan yang jumlahnya sampai ribuan, Winnie muncul di ambang pintu brankas dengan tampang mencurigakan.
"Kak, kekasih lo ada di depan, tuh." Senyum jahilnya Winnie tidak pada tempatnya!
"Kekasih?"
Hitungan Ben pada agunan emas yang disimpan di ruangan penyimpanan brankas ambyar di angka 698 ketika mendengar kata 'kakasih'. Padahal barang yang akan dihitung hanya sekitar 5.387 kantong lagi.
Cori justru langsung mencari mata auditornya, seakan ... meminta tolong. Mereka saling tatap beberapa detik.