Kantor Cabang Mega Legenda telah ditinggalkan oleh karyawannya satu per satu karena waktu sudah menunjukkan pukul 18.00. Namun, ada dua orang karyawan yang masih duduk diam-diaman di kursi kepunyaan Pak Raflis dan Pak Boy—sekuriti sangar tapi ramahnya minta ampun.
Dua orang itu adalah si Penaksir dan si Auditor.
"Pulang, yuk?" ajak Ben memecah keheningan.
"Aku nunggu jemputan. Bang Ben duluan aja."
Kening Ben mengusut. “Siapa yang jemput kamu?"
"Tuh." Telunjuk Cori mengarah pada sebuah sedan hitam yang baru saja parkir di sebelah Brio putih-nya Ben. Ketika seorang pria keluar dari pintu pengemudi ... Ben langsung mendengkus kesal.
"Ngapain dia jemput kamu?" desis Ben.
"Bukannya Bang Ben sendiri yang minta aku menyelesaikan masalahku secepatnya?" bisik Cori tak mau kalah.
Saat Cori benar-benar menoleh ke sebelah kirinya, dia mendapati seorang pria yang rahangnya mengeras dan mukanya memerah. Untuk pertama kalinya Cori berhadapan dengan sifat baru Ben sejak pertama mereka bertemu: murka.
"Aku tahu, tapi nggak menjamin dia akan merayu kamu lagi agar kalian tetap bersama. Dia ... licik!"
"Bang, aku yang akan memutuskan apakah dia licik atau enggak. Bang Ben nggak berhak menilai Mas Arga. Bagaimanapun dia masih kekasihku!"
Ben bak tersambar geledek dan terbakar api cemburu. Kalimat terakhir menghempas kewarasannya.
"Dia akan menikah dengan Riri!"
"A-Apa?!" Cori tak menutupi wajahnya yang terluka.
Saat itu juga Ben menggigit lidahnya sendiri dan dihujani penyesalan dan perasaan bersalah. Bukan tempatnya memberi tahu fakta itu. Ben sadar telah terlampau jauh masuk ke dalam masalah pribadi Cori.
"Ma-maksudku ... itu …." Mulai gelagapan si Auditor.
"Bang Ben udah tahu Mas Arga akan menikahi Kak Riri tapi enggan memberi tahu aku?!" Suara Cori gemetar rapuh.
"Bu-bukannya aku nggak mau kasih tahu kamu, Cori."
Sebagai seorang Auditor yang terkenal lugas dan tegas dalam bicara, Ben akan mendapati lawan bicaranya tak akan sanggup membantah, apalagi melawan. Tapi dengan wanita ini, lisannya begitu berat bicara fakta, terbata-bata menyampaikan isi kepala.
Pertahanan Ben runtuh ketika tahu bahwa sewaktu-waktu mata berkaca-kaca itu bisa saja mengalirkan air mata di pipinya yang chubby. Ben hilang akal. Ben jadi tak berdaya. Pesona Cori benar-benar membuatnya terjerat dan tidak bisa melawan.
"Kenapa Abang diem aja?!" tuntut Cori di sela-sela giginya.
"Itu—, "
"Cori, yuk," potong Arga tanpa memedulikan situasi dua manusia yang sedang perang urat saraf. Ia hanya ingin membawa Cori cepat-cepat pergi dari sini. Urusan dengan Ben akan ia pikirkan nanti.
Ben nelangsa melihat punggung tetangganya menjauh menuju mobil si pengecut itu. Ben tidak bisa berbuat apa-apa.
Cori mengurungkan diri masuk ke kursi penumpang untuk berbalik arah dan berjalan cepat menuju Ben.